"Potensi yang tidak diledakkan akan tetap menjadi potensi saja, tidak akan terwujud sebagai kemampuan untuk melakukan tindakan."
Saya sering mendapatkan keluhan dari mahasiswa maupun peserta training bahwa mereka merasa tidak berbakat memimpin. Dalam kesempatan lain mereka menyampaikan lagi bahwa mereka tidak berbakat seni, olah raga, menulis, dan sederetan alasan lainnya untuk menjustifikasi bahwa mereka tidak mampu melakukan hal tertentu karena mereka tidak berbakat. Kata "tidak berbakat" nampaknya menjadi kambing hitam yang paling mudah. "Jangan salahkan aku kalau aku tidak mampu melakukan hal tertentu karena aku tidak berbakat" demikian kurang lebih pesan yang terkandung dalam pernyataan mereka.
Namun pada saat saya tanyakan kepada yang merasa "tidak berbakat" mengenai sudah seberapa jauh mereka belajar, berlatih dan mencoba, mereka mulai mencari-cari alasan berikutnya. Mereka katakan bahwa walaupun belum mencobanya tetapi mereka tahu dan bisa merasakan kalau mereka tidak berbakat. "Seperti ejakulasi dini saja, belum apa-apa sudah loyo" demikian saya sering meledek mereka-mereka yang terlampau cepat memvonis dirinya tidak mampu karena tidak berbakat.
Berkaitan dengan masalah bakat, dalam suatu kesempatan pelatihan kepemimpinan saya memulai dengan pertanyaan "Apakah Anda percaya bahwa para pemimpin besar memang dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin? Atau Anda lebih percaya bahwa para pemimpin besar ditempa dalam perjalanan hidupnya sehingga menjadilah ia seorang pemimpin?" Jawaban yang aman memang ke dua-duanya bisa. Bisa saja kita menjawab dengan enteng bahwa ada seorang pemimpin yang memang dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin dan ada yang menjadi pemimpin karena dibentuk oleh dirinya sendiri maupun oleh lingkungannya sehingga seseorang menjadi seorang pemimpin. Namun bukan sekedar jawaban tentunya yang kita cari. Kita ingin mendapatkan jawaban yang memiliki landasan pemikiran yang kuat, yang based on evidence, yang berdasarkan bukti! Bisakah kita membuktikan bahwa seseorang memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin? Apa buktinya pemimpin itu ditempa dan dibentuk?
Banyak keturunan pemimpin juga menjadi pemimpin. Kalau kita mendengar nama Kennedy, asosiasi kita langsung ke keluarga Kennedy di Amerika Serikat yang turun menurun menjadi pemimpin. Ada George Bush kemudian munculah George W. Bush. Ada Mahatma Gandhi kemudian muncul Indira Gandhi. Ada Sukarno dan kemudian muncullah Megawati Sukarno Putri. Jadi nampaknya di sini sifat-sifat kepemimpinan bisa diturunkan sehingga seorang pemimpin bisa melahirkan pemimpin berikutnya. Benarkah sifat-sifat kempemimpinan bisa diturunkan secara biologis?
Saya tidak akan memperdebatkan masalah ini dari aspek genetika karena memang hal tersebut bukan dalam bidang keahlian saya. Namun demikian saya yakin bahwa manusia dilahirkan dengan potensi sendiri-sendiri. Setiap manusia itu unik. Tidak ada yang sama persis. Meskipun seorang manusia dilahirkan seperti halnya kertas putih bersih yang belum tercoret, mereka dianugrahi potensi yang berbeda antara satu dengan lain. Saya termasuk yang tidak yakin bahwa manusia dilahirkan dengan potensi yang sama. Oleh karenanya saya katakan berulang kali bahwa manusia memiliki potensi yang unik antara satu orang dengan lainnya.
Seorang anak yang lahir dari pasangan yang cerdas memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk memiliki potensi kecerdasan seperti halnya orang tuanya. Ini logika yang wajar saja. Buah akan akan jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kalau bakat dan sifat orang tuanya menurun kepada anaknya itu tentunya sudah sewajarnya. Namun ingat, yang diturunkan kepada anaknya masih bersifat potensi. Potensi itu akan tetap diam tidak akan menjadi realitas kalau tidak diwujudkan dalam tindakan. Seorang anak yang berpotensi menjadi pelari cepat tidak akan menjadi pelari cepat kalau ia tidak mencoba berlari. Seorang anak yang memiliki potensi memimpin tidak akan pernah benar-benar menjadi pemimpin kalau tidak melakukan tindakan sebagai seorang pemimpin. Seorang anak yang memiliki bakat menulis tidak akan pernah menjadi penulis apabila ia tidak menulis. Potensi yang mereka miliki bukan apa-apa apabila tidak diwujudkan dalam suatu tindakan. Sebuah senapan tidak akan meletus apabila tidak ditarik pelatuknya. Kalau demikian, dari pada meributkan seorang pemimpin itu dilahirkan atau tidak lebih baik kita langsung saja mengambil tindakan untuk menjadi seorang pemimpin. Hal ini lebih efektif dari pada kita disibukkan untuk memikirkan apakah kita berbakat untuk menjadi pemimpin atau tidak.
Kalau kita bicara tentang bakat, harus diakui bahwa orang yang memilki bakat tertentu akan belajar lebih cepat dari pada yang kurang berbakat. Seseorang yang memiliki bakat seni musik akan lebih cepat belajar musik dari pada yang tidak atau kurang berbakat dalam hal seni. Namun perlu dicatat di sini bahwa orang yang berbakat seni tetapi tidak mau belajar seni tidak akan memiliki kemampuan seni. Mengapa? Karena bakat itu hanya berupa potensi. Kalau potensi tersebut tidak diledakkan ya akan tetap menjadi potensi saja. Tidak akan terwujud sebagai kemampuan untuk melakukan tindakan. Dengan kata lain, seorang yang tidak memiliki bakat musik tetap bisa memiliki kemampuan di bidang musik apabila mereka mau belajar. Konotasi belajar di sini tidak berarti belajar dalam arti formal maupun informal, tetapi juga belajar dalam arti mencoba melakukan (experiental learning). Maka jangan pernah memvonis diri sendiri tidak berbakat dalam suatu bidang tertentu sebelum mencobanya. Sampai di sini kita masih memiliki kesimpulan yang sama bahwa seberapa besarpun bakat kita tidak akan menjadi kemampuan yang sebenarnya kalau kita tidak pernah mencobanya. Dengan kata lain, dari pada sibuk memikirkan bakat kita lebih baik kita sibuk melatih diri kita untuk menjadi seperti apa yang kita harapkan.
Saat kita merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan sesuatu, hal tersebut bukan selalu karena bakat. Bahkan beberapa pakar menyatakan bahwa kemampuan yang kita miliki hanya 15% yang berasal dari bakat. Selebihnya, yaitu 85%, berasal dari belajar, latihan, dan mencoba. Dengan demikian, kalau kita belajar dengan benar, melatih diri dengan benar, dan mencoba dengan benar maka kita akan menghasilkan kemampuan yang jauh lebih besar dari pada mengandalkan hanya pada faktor bakat saja.
Mau memiliki kemampuan yang hebat? Keep trying, keep doing! Ledakkan potensi Anda.
*) Agung Praptapa adalah penulis buku "The Art of Controlling People", Gramedia, 2009. Ia seorang dosen, konsultan bisnis, dan trainer di bidang personal and organizational development. Alumni Writer Schoolen dan Trainer Schoolen.
Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Comments :
0 komentar to “Bakat vs Usaha”
Posting Komentar