"Matikan komputermu. Matikan juga ponselmu. Dan perhatikan manusia di sekelilingmu. "
-- Eric Schmidt, CEO Google
ADIL jengkel betul dengan istrinya. Sepanjang liburan akhir pekan keduanya sepakat memilih beristirahat di rumah. Lima hari bekerja membuat mereka ingin melemaskan otot-otot. Sekaligus tentu saja mempererat tali cinta diantara mereka berdua. Maklum, mereka belum lagi genap dua tahun menikah. Buah hati yang menjadi dambaan mereka tak kunjung datang. Mungkin Yang Di Atas belum memberikan mereka kepercayaan. Begitu keduanya menghibur diri.
Tapi akhir pekan yang seharusnya indah justeru berubah menyebalkan. Seharian Anita, sang istri, hanya berada di kamar. Mungkin saja letih. Dia ingin istirahat penuh. Namun yang membuatnya jengkel, Anita terus menggenggam gadget kesayangannya. Anita kadang tertawa sendiri. Sampai kadang dia tak ingin jauh dari colokan listriknya. Gadget kesayangannya itu sering kehilangan tenaga, sehingga terpaksa harus dicharge.
Adil geleng-geleng kepala. Namun Anita cuek bebek. Katanya, dia sedang asyik mengobrol dengan teman yang lama tak dijumpainya. Bertemu di jejaring sosial facebook, mereka kemudian bertukar nomor PIN. Lalu itulah yang terjadi, mereka mengobrol ngalor-ngidul sesuka hati. Adil pun memilih untuk keluar rumah dan mengobrol dengan tetangga.
Ponsel cerdas itu menjadi booming di dunia, termasuk Indonesia. Apalagi setelah beberapa tokoh dunia dan seleb memakainya juga. Kelebihan menggunakan gadget ini dibandingkan dengan ponsel biasa memang beragam, misalnya saja layanan push mail, menerima dan membalas email yang masuk pada saat itu juga. Atau mengambil foto dan mengirimkannya ke handai taulan di luar negeri dalam sekejap. Lalu ada pula fasilitas chatting, browsing, hingga fasilitas online berbagai situs jejaring sosial. Kedekatan seseorang di dunia maya seakan-akan tidak lagi terpisahkan oleh ruang dan waktu. Tak aneh bila kemudian muncul istilah, ‘mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.’
Namun memakai gadget ini bukan tak ada kekurangannya sama sekali. Contohnya, ya itu, interaksi antara Adil dan Anita menjadi tak nyaman. Ketika seseorang berasyik masyuk dengan dirinya dan dunianya sendiri, serta tidak memperdulikan lingkungan sekitar, apalagi menjadikannya sebagai ketergantungan yang sangat, maka menurut anak zaman sekarang dikatakan terkena 'gejala autis'. Tapi bukankah merujuk peribahasa, ’man behind the gun’, bahwa baik-buruknya penggunaan teknologi tergantung si pemakainya? Betul. Bila pemakainya memakai dengan bijak, tentu tak masalah. Sebaliknya pun demikian.
Tapi nyatanya memang, menurut penelitian, ketergantungan akan gadget menyebabkan seseorang menjadi tak fokus. Bahkan para uskup senior di Liverpool, Inggris menantang umatnya untuk berpuasa teknologi selama 40 hari. Mereka mendorong masing-masing orang untuk memangkas penggunaan karbon dengan tidak memakai sejumlah gadget. Tingkat ketergantungan pemakai gadget memang sungguh luar biasa. Hingga muncul istilah, ’it is heaven for business owners, but hell for employees’.
Gadget dibuat dengan tujuan membantu si pemakainya. Untuk menjadikan urusan berjalan dengan efektif dan efisien. Ambil satu contoh, misalnya saja ketika diadakan rapat penting. Saat dalam rapat membutuhkan komunikasi rahasia di antara peserta rapat, tentu saja cara yang cerdas dengan menggunakan gadget yang tersedia.
Tetapi pada kenyataannya, yang kerap kita jumpai, teknologi yang awalnya dirancang untuk membantu kehidupan manusia, malah justeru membuat kita semakin menjauh satu dengan lainnya. Menjauh dari orang-orang yang kita kasihi, dan menjauh pula dari Tuhan yang sesungguhnya dekat dengan kita.
Dengarlah apa yang dikatakan Eric Schmidt, CEO Google, dalam pidatonya di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 18 Mei 2009 lalu dihadapan enam ribu wisudawan. Schmidt berujar, “Matikan komputermu. Matikan juga ponselmu. Dan perhatikan manusia di sekelilingmu.” Schmidt mengatakan demikian setelah melihat banyaknya kaum muda yang hanya terpaku pada dunia virtual di internet. Seakan tak peduli untuk berelasi dengan orang lain.
Itulah yang dirasakan Adil sekarang. Ia merasa jauh sekali dari istrinya. Adil sesungguhnya tak menuntut lebih dari Anita. Adil hanya ingin Anita menghentikan sekali saja pada saat mereka berada di rumah. Apalagi disaat-saat mereka sedang berdua atau liburan. Baginya komunikasi yang baik bukan lagi semata dengan jari-jari, walau teknologi sudah maju. Berbicara dengan tatap muka, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh tentu lebih memanusiakan diri.
Kita seharusnya memang dapat berhenti sejenak dari kegaduhan dunia virtual dan kembali pada ‘habitatnya’ sebagai makhluk sosial.
*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009
Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Comments :
0 komentar to “Berbicara dengan Hati, Bukan Jari”
Posting Komentar