Dalam sebuah e-mail dari teman pernah ada kisah sepasang suami-istri
dan anaknya. Ceritanya kira-kira begini. Adalah sepasang suami-istri
yang sudah lama tidak mempunyai anak.
Suatu hari sang istri ternyata hamil lalu melahirkan seorang anak
laki-laki. Semua tetangga mengatakan mereka adalah pasangan yang
beruntung. Anaknya laki-laki lagi. Kalau nanti sudah dewasa,
bukankah dia bisa bekerja keras dan merawat orang tuanya? Sungguh
beruntung mereka punya anak laki-laki.
Ternyata anak tersebut sangat senang kuda. Dia sangat ingin memiliki
seekor kuda. Tapi mereka miskin sehingga tidak bisa membeli hewan
tersebut. Semua orang mengatakan bahwa mereka benar-benar sial
karena miskin, sehingga tidak bisa membeli kuda. Kalau mereka kaya,
kan bisa beli kuda? Sial benar.
Suatu hari ayahnya diberi seekor anak kuda oleh pelanggannya yang
sering membeli kayu bakarnya. Jadilah anak itu punya seekor kuda.
Semua orang mengatakan mereka sangat beruntung. Ingin punya kuda, eh
ada yang memberi kuda. Beruntung sekali.
Anak itu pun belajar berkuda. Dia sering berkuda ke mana-mana. Suatu
hari, ketika sedang berkuda. ternyata kuda tersebut mengamuk,
sehingga anak itu terjatuh dan kakinya patah. Sejak kejadian itu dia
menjadi pincang apabila berjalan.
Semua orang menyesali mengapa dia berkuda. Kalau dulu tidak punya
kuda, kan dia tidak akan jatuh. Dan kakinya tidak akan pincang.
Sial. Mengapa punya kuda? Lebih baik tidak usah punya kuda. Sial
sekali.
Setelah anak tersebut menginjak dewasa, ternyata di negara tersebut
pecah perang dengan negara lain. Semua pemuda harus menjadi serdadu.
Anak pasangan suami-istri itu juga harus mendaftar. Orangtuanya
khawatir kalau anak satu-satunya ikut berperang. Semua tetangga
merasa kasihan dan menyesali mengapa dulu tidak lahir anak perempuan
saja. Kalau anak perempuan kan tidak harus berangkat berperang.
Aduh, sial benar, mengapa pasangan itu dulu melahirkan anak laki-
laki?
Ketika dilakukan pemeriksaan kesehatan ternyata anak itu yang kini
sudah tumbuh menjadi seorang pemuda, tidak diterima sebagai serdadu
karena kakinya cacat. Semua orang mengatakan, beruntung sekali dia
tidak harus berperang. Coba kalau dulu tidak jatuh dari kuda, dia
pasti harus ikut berperang. Untung dulu dia punya kuda. Untung dulu
dia jatuh dari kuda. Untung kakinya pincang. Sungguh beruntung dia.
Dari cerita ini, sebenarnya untung dan sial itu apa sih? Kapan
seorang disebut beruntung dan kapan kurang beruntung? Ketika anak
laki-laki yang lahir, katanya beruntung, tapi ketika dia harus
berperang, orang-orang mengatakan mengapa dulu tidak lahir anak
perempuan saja?
Ketika dia mendapat kuda, katanya beruntung, tapi ketika dia pincang
karena jatuh dari kuda, katanya sial. Orang-orang menyesali mengapa
punya kuda. Lalu ketika dia tidak jadi berperang karena pincang,
kata orang dia beruntung karena dulu pernah jatuh dari kuda. Untung
dulu punya kuda. Untung dia pincang.
Jadi, sebenarnya kapan seseorang sial dan kapan seseorang beruntung?
Apakah karena tidak sesuai dengan yang kita harapkan lalu kita
katakan sial atau kita anggap musibah? Apakah ketika sesuai dengan
keinginan kita, lalu musibah tersebut bisa berubah menjadi
keberuntungan? Kapan kita menyesali sesuatu? Kapan kita mensyukuri
sesuatu? Mungkin saja apa yang dianggap sial atau musibah hari ini,
mungkin bisa berubah menjadi keberuntungan di masa depan.
Melihat berkah
Mengapa? Mungkin karena kita belum bisa melihat blessings in
disguise. Kita tidak bisa melihat berkah dibalik musibah. Apa yang
dilihat sebagai musibah hari ini, ternyata di kemudian hari baru
kita sadari bahwa hal itu mengandung berkah.
Kisah berikut ini pernah saya tulis dari sudut pandang yang berbeda.
Sekali waktu ada seorang pria buta huruf yang bekerja sebagai
penjaga sebuah gereja di Amerika Serikat. Sudah sekitar 20 tahun dia
bekerja di sana. Suatu hari pemimpin gereja itu dipindahkan ke
tempat lain dan digantikan oleh pemimpin baru.
Pemimpin baru ini menerapkan aturan baru. Semua pekerja harus bisa
membaca dan menulis agar mereka bisa mengerti pengumuman yang
ditempel di papan pengumuman. Penjaga yang buta huruf itu terpaksa
tidak bisa bekerja lagi.
Dia sangat sedih dan berjalan pulang dengan lemas. Dia tidak berani
langsung pulang ke rumah, tidak berani langsung memberitahu
isterinya. Dengan sedih dia berjalan pelan menelusuri jalanan.
Setelah hari gelap sampailah dia di sekitar pelabuhan. Dia pun ingin
membeli tembakau. Tapi setelah mencari kemana-mana, setelah
mengelilingi beberapa blok, tidak ada satu toko pun yang menjual
tembakau. Tiba-tiba, dia berfikir "Tembakau sangat perlu. Tapi di
sekitar sini tak ada yang jual tembakau. Aku ingin jualan tembakau
saja ah."
Dia pun pulang, lalu dengan penuh semangat menceritakan idenya untuk
berjualan tembakau kepada isterinya. Dia tidak lagi menyesali
nasibnya yang baru saja kehilangan pekerjaan. Kemudian dia pun
membuka kios tembakau. Ternyata tembakaunya laku keras.
Tak berapa lama, dia bisa membuka toko tembakau. Beberapa tahun
kemudian dia bisa membuka beberapa cabang toko tembakau di tempat
lain. Jadilah dia pedagang tembakau sukses.
Ketika sudah jadi orang kaya, dia pun pergi ke bank untuk membuka
rekening. Tapi karena buta huruf, maka dia tidak bisa mengisi
formulir. Karyawan bank berkata "Wah, Bapak yang buta huruf saja
bisa punya uang sebanyak ini, apalagi kalau Bapak bisa membaca dan
menulis, Bapak pasti lebih kaya lagi." Dengan tersenyum dia
berkata "Kalau saya bisa membaca dan menulis, saya pasti masih
menjadi penjaga gereja."
Waktu dia dipecat, dia merasa sedih, putus asa, dan mungkin
menyesali kejadian itu. Peristiwa itu merupakan musibah. Tapi kini,
dia bisa melihat bahwa mungkin nasibnya tidak akan berubah menjadi
seperti sekarang kalau dulu dia tidak dipecat.
Apa yang dulu merupakan musibah, ternyata kini mendatangkan
keberuntungan, menjadi berkah. Mari kita mencoba bersabar dan tabah
dalam menghadapi apapun. Berdoa supaya bisa melihat berkah di balik
musibah. Do not give up! See the blessings in disguise!
Sumber: Blessing In Disguise oleh Lisa Nuryanti
Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Comments :
0 komentar to “Blessing In Disguise”
Posting Komentar