"Mengko ibu mesti, mundhut oleh-oleh, kacang karo roti, Adi diparingi."
-- Kris Biantoro dalam ‘Dondong Opo Salak’
SATU patung batu itu masuk ke dalam tas. Sebuah perjalanan panjang sebenarnya. Sebelum transaksi itu mencapai kata sepakat, tarik ulur soal harga bikin keduanya ngotot. Si penjual di Prambanan tetap bertahan dengan harganya. Sedangkan Endang yang telanjur ngiler, ingin sedikit harga lebih miring lagi. Agar uangnya cukup, begitu pikirnya.
Sebenarnya banyak kerajinan lain, namun Endang sudah kadung jatuh hati pada patung itu. Ayahnya, yang sudah renta memang sangat menyenangi semua jenis patung. Patung apa saja. Apalagi yang terbuat dari batu. Hiasan dari batu menandakan sebuah perjuangan dalam menaklukkan sesuatu, sekaligus bersahabat dengan alam. Begitu sang ayah menjelaskan secara filosofis pada Endang, anak paling kecil di keluarganya.
Patung batu itu akhirnya berpindah tangan. Meski untuk itu, tas Endang terbebani sekitar satu kilogram. Wuih, lumayan berat. Tubuhnya yang kecil mungil terlihat berupaya keras agar tetap tegap. Di kiri-kanannya ia masih menenteng Gudeg Kendil dan Bakpia Pathok, makanan khas dari Yogyakarta.
Perjuangan yang dapat dikatakan tidak ringan tentu saja. Teman-teman satu kantornya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin pertanda takjub. Atau bisa jadi tak habis pikir bila teman yang satu ini ternyata seorang shopaholic. “Ngawur tuh,” ujar Endang yang protes bila dirinya dikatakan demikian. Shopaholic merupakan gejala keinginan berbelanja tanpa batas, walau sebenarnya tidak terlalu membutuhkan barang-barang tersebut, kata Endang membela diri.
Endang pun bertutur. Sebenarnya semua barang yang ia bawa pulang sehabis tugas ke luar kota ini merupakan keinginannya sendiri. Orang tuanya di rumah, teman-temannya di kantor, atau mereka yang satu kost dengannya, tidak pernah meminta dibawakan oleh-oleh. “Karena saya cuma ingin memberikan kesenangan. Lagipula saya kan belum bisa mengajak mereka jalan-jalan. Oleh-oleh seperti ini moga-moga bikin mereka senang.”
Buah tangan atau oleh-oleh adalah kisah khas dari suatu perjalanan. Tampaknya Endang memahami benar soal yang satu ini. Membawa barang-barang khas dari daerah yang dikunjunginya, ia yakin dapat membuatnya berbagi kebahagiaan. Walaupun tentu saja untuk itu dia harus mengeluarkan energi berlebih, karena bebannya menjadi berat. Dan, uang ekstra yang ia sisihkan dari gajinya. Tapi ia merasa bahagia sekali.
Rasa cinta dan perhatian pada orang-orang sekelilingnya menjadi pertimbangan lain bagi Endang. Mereka yang diberi oleh-oleh tentu merasa diperhatikan. Pergi ke luar kota, sekali pun untuk bekerja, toh ada satu kebahagiaan yang didapat. Pengalaman lain yang dapat diceritakan kembali pada orang lain, misalnya.
Pun demikian, mereka yang dihadiahi oleh-oleh, akan senang tiada kepalang. Senang karena mendapat buah tangan. Senang pula bahwa mereka mendapatkan perhatian. Bagaimana pun, untuk mendapatkan oleh-oleh, si pembawanya sudah tentu melakukan usaha yang luar biasa. Membeli bakpia di Yogyakarta, jelas tak mudah pula. Karena penganan sejenis ini teramat banyak di sana. Mana yang enak, mana yang murah, sudah tentu harus bertanya-tanya.
Buah tangan dapat pula berarti kebahagiaan yang terbagi rata. Si pembawanya merasa bahagia. Si penerimanya ikut riang. Bagaimana dengan si penjualnya? Sama saja. Apalagi bagi mereka yang tergolong pengusaha kecil dan menengah. Terjualnya barang dagangan mereka memberikan rezeki yang dapat menopang hidup mereka. Menggairahkan ekonomi kerakyatan, begitu mungkin istilahnya.
Memberikan buah tangan, sekaligus pula melakukan promosi wisata. Meski dengan skala yang sangat kecil. Tapi bisa jadi, dapat pula memberikan dampak yang signifikan. Kisah perjalanan ke luar kota atau membeli oleh-oleh yang dimuat diblog atau ditulis di media cetak, mungkin dapat memberikan inspirasi bagi para pelancong lainnya untuk melakukan hal serupa. Berkunjung dan membeli.
Tentu saja ada dinamika yang terjadi dalam melakukan kunjungan wisata. Misalnya, ada penjual oleh-oleh yang tidak jujur. Menaikkan harga dan mengakali kualitas. Ya, biarlah mereka yang menanggung semuanya. Toh sebagai pembeli, paling tidak satu tujuannya untuk berbagi rezeki yang dibawa ke sana tercapai. Persis seperti filosofi mudik yang tiap tahun terjadi.
Pada akhirnya, membawa buah tangan dari tempat yang kita kunjungi memiliki dampak yang luar biasa bagi siapa pun. Barangkali, persis seperti yang terjadi pada saat kita kecil. Betapa senangnya melihat ibu pulang dari pasar dengan membawakan mainan yang kita inginkan, meski harga dan kualitasnya tidaklah istimewa betul.
Pulang ke rumah dengan membawa jinjingan seadanya teramat sangat menyenangkan. Tak perlu mahal dan tak perlu banyak. Anda merencanakan tamasya akhir pekan ini? Jangan lupa menyiapkan oleh-oleh untuk orang-orang yang Anda kasihi.
*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009
Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Comments :
0 komentar to “Buah Tangan, Buah Cinta”
Posting Komentar