Dare to Say "NO"

Oleh: Agung Praptapa *

Penyesalan akan datang kemudian. Ini pasti. Tidak mungkin dong kita menyesal sebelum berbuat sesuatu. Penyesalan akan datang saat kita menyadari kalau ternyata apa yang kita lakukan tidak menghasilkan apa yang diharapkan. Kita mau lulus ujian tetapi kita ternyata tidak lulus. Muncullah penyesalan atas apa yang telah kita lakukan, yang menjadikan kita tidak lulus. "Seandainya saya waktu itu tidak melakukan hal seperti itu, mungkin ceritanya menjadi lain" demikian kesimpulan yang biasanya dibuat oleh mereka yang sedang menyesali perbuatannya. Namun semua sudah terjadi. Sekarang akhirnya begini. Yang ada tinggal penyesalan. Saya yakin kebanyakan dari kita pernah mengalami perasaan seperti itu.

Saya pernah didatangi seorang mahasiswa yang tidak mengikuti ujian semester sehingga terpaksa tidak saya luluskan. Setelah saya tanya mengapa tidak mengikiuti ujian, dijawab bahwa ia saat itu ketiduran. Wah sederhana sekali alasannya? Walaupun ini alasan yang seharusnya tidak terjadi dan sangat bodoh untuk terjadi, tetapi kasus mahasiswa tidak ikut ujian karena ketiduran bukan pertama kali saya temui. Sudah beberapa kasus sejenis sebelumnya. Setelah saya pelajari mereka yang sampai "ketiduran" di saat seharusnya ada kewajiban yang lebih penting, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah mereka terhanyut oleh suatu kebiasaan yang ia sendiri susah sekali untuk menghentikannya. Ada yang karena sambil belajar kemudian tidak tahan membuka internet dan chating sampai pagi. "Maunya sih belajar, tetapi kalau sudah chating kok susah ya dihentikan?" demikian mungkin mereka heran pada diri sendiri. Ada juga yang karena terlibat diskusi yang tidak berhasil mereka hentikan. Besok akan ujian matematika tetapi malamnya terlibat diskusi dengan teman kos tentang politik, yang semakin malam semakin seru sehingga tidak terasa badan menjadi capai dan akhirnya tertidur. Lupa alarm belum disetel. Bangun-bangun sudah jam 8. Padahal ujiannya jam 7. "Uh…masalah sepele, tetapi akibatnya kok jadi begini!" demikian mahasiswa tersebut menyesal.

Karyawan perusahaan klien saya suatu pagi datang dengan wajah kusam. Ia kurang tidur. Katanya semalam sampai pagi. Tidur hanya dua jam. Apa yang ia kerjakan? Ternyata ia suka membuka situs-situs tertentu di internet, yang kalau sudah sekali membuka susah sekali di hentikan. Akhirnya di kantor ia sudah tidak ada tenaga lagi. Padahal hari itu terdapat meeting penting. Ia tidak bisa berkonsentrasi penuh karena kurang tidur. Dalam rapat tersebut ia sempat tertidur. Pimpinan perusahaan marah besar. "Ini rapat yang sangat penting, menyangkut hidup matinya perusahaan kita, tega-teganya Anda tidur!" demikian pimpinan perusahaan tersebut marah besar. Meeting langsung dihentikan. "Saya tersinggung luar biasa, saya tidak mengerti. Tega-teganya dia sampai tidur dalam meeting sepenting ini!" dengan nada kesal pimpinan perusahaan tersebut menumpahkan emosinya pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Karyawan tersebut menyesal luar biasa. "Duh…hanya karena situs-situs tersebut saya jadi begini"

Masih banyak contoh penyesalan seseorang yang diakibatkan mereka terhanyut pada suatu aktivitas tertentu yang ia sadari bahwa seharusnya bisa dihentikan untuk mengerjakan pekerjaan lain yang lebih penting. Namun mereka tidak berhasil menghentikannya. Mereka seperti terbawa arus sungai yang deras dan tidak sanggup untuk menyelamatkan diri. Mereka tidak sanggup berkata "TIDAK" pada diri sendiri. Akibatnya adalah penyesalan di kemudian hari.

Saya jadi teringat kata-kata motivasi bahwa "Kalau kita lembut pada diri kita sendiri, dunia akan keras pada kita. Kalau kita keras pada diri sendiri, maka dunia akan lembut kepada kita". Nah, kegagalan kita untuk "SAY NO" pada diri sendiri membuktikan kebenaran kata-kata motivasi tersebut. Sekarang bagaimana kita bisa berhasil "SAY NO?"

Kebanyakan dari kita mengetahui kebiasaan buruk kita sendiri. Mungkin kita malu menyampaikan kebiasaan buruk tersebut kepada orang lain. Tetapi kalau mengatakan kepada diri sendiri tidak perlu malu kan? Nah, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mencoba jujur kepada diri sendiri untuk mengidentifikasi kebiasaan-kebiasaan buruk yang jelas-jelas merugikan kita. Tidak perlu menyampaikan kepada orang lain. Sampaikan saja kepada diri sendiri. Ini pun bukan suatu hal yang mudah. Butuh keberanian! Kita harus bisa keras pada diri sendiri.

Setelah kita mengidentifikasi kebiasaan buruk yang harus kita hentikan segera, langkah berikutnya adalah "hentikan saja". Tidak usah mencari-cari alasan. Hentikan saja dulu, alasannya bisa kemudian. Kalau kita memiliki kebiasaan chating yang memakan waktu lama, ya hentikan dulu. Sedang chating langsung hentikan saja. Now! Sekarang juga. Kalau kita punya kebiasaan buruk membuka situs-situs tertentu – maaf situs porno misalnya – yang biasanya menghabiskan waktu berjam-jam bahkan bisa mengalahkan pekerjaan penting lainnya, langsung saja HENTIKAN! Kalau Anda punya kebiasaan merokok sambil melamun yang tidak jelas arahnya kemana, juga HENTIKAN saat ini juga! Tidak mudah dong…tidak semudah itu….ini kan hiburan….kita bukan mesin..kita juga manusia..punya rasa, punya nafsu, punya klangenan (bahasa jawa yang berarti kesukaan yang sudah mencandu)….tidak mudah dong menghentikannya begitu saja. Saya katakan TEGAS SAJA. "STOP NOW!". Walau sejenak, kita hentikan dulu.

Setelah kita berhasil hentikan, walaupun beberapa saat saja, tegaskan pada diri sendiri sampai berapa lama kita akan sanggup berhenti. Idealnya memang langsung menghentikannya tanpa alasan apapun. Namun me-manage manusia harus dengan cara-cara manusiawi juga. Langkah ke dua tadi adalah langkah untuk membuktikan bahwa kita bisa menghentikannya. Bisa "Say NO" walaupun hanya beberapa saat saja. Tetapi itu prestasi luar biasa. Anda sudah berhasil memerintah diri sendiri. Ini yang lebih penting. Anda berhasil memerintah diri sendiri! Nah di langkah ke tiga ini anda tentukan "Target", berapa lama kita akan dalam posisi berhenti. Posisi NO. Katakanlah satu jam. Ya sudah, hari ini Anda berhasil berhenti satu jam! Kok gak langsung tegaskan saja BERHENTI forever? Kalau bisa silakan. Tetapi sekali lagi saya tegaskan di sini kita perlu mengatasi masalah-masalah kita secara manusiawi karena kita manusia. Jadi, sebagai langkah awal, katakanlah kita hentikan chating kita dalam satu jam. Apa yang harus kita lakukan dalam satu jam "gencatan senjata" tersebut?
Dalam satu jam "break" tersebut lakukan pekerjaan-pekerjaan yang sangat penting dan tidak bisa ditunda. Dalam satu jam tersebut posisikan diri kita sebagai seorang profesional, yang dalam satu jam harus mengerjakan sesuatu sesuai target. "I'm a professional! " demikian yakinkan kepada diri sendiri. Jadikan satu jam tersebut momen yang membanggakan karena kita berhasil mengerjakan sesuatu yang sangat berarti dalam waktu yang sangat terbatas. Setelah satu jam berlalu dan kita berhasil mengerjakan sesuatu yang membanggakan, apa lagi yang harus kita lakukan? Kembali chating lagi? Kembali ngobrol lagi? Kembali buka situs "itu" lagi? Ha…ini jawaban yang mungkin mengejutkan Anda. Iya, boleh saja!

Boleh kembali melakukan kebiasaan buruk lagi? Yang bener saja! Nah…sudah saya bilang, saya ingin memperlakukan manusia sebagai manusia. Dari pada ber pura-pura mengapa tidak kita kelola saja dengan profesioal. Tadi kita kan dalam satu jam sudah berhasil menjadi seorang profesional, yang dalam waktu tertentu harus mencapai target. Sekarang kita juga bisa profesional dong…dalam waktu tertentu kita bisa kembali melakukan kebiasaan yang sudah kita sadari akan merugikan kita, tetapi waktunya juga dibatasi. Saya hanya akan chating lagi dalam 30 menit ke depan. Ayo kita profesional di sini. 30 menit ya 30 menit. Perintah diri sendiri agar membatasi 30 menit saja. Setelah 30 menit? Ya berhenti. Kan profesional? Kita harus kembali mengerjakan proyek kita berikutnya. Tentunya proyek yang membikin kita bangga pada diri sendiri. Bagi seorang mahasiswa, proyek berikutnya bisa mengerjakan tugas, atau membaca bab-bab buku tertentu yang wajib dibaca, atau bahkan bisa saja menyeletika baju. Bagi seorang karyawan, proyek berikutnya bisa membaca buku bermanfaat, membaca koran hari ini yang belum sempat dibaca, atau menyelesaikan pekerjaan penting yang tertunda.

Cara-cara ini memang nampaknya model main paksa saja, tidak ilmiah. Tidak ada aktivitas "ilmiah" seperti mengidentifikasi aspek positif dan aspek negatif dari kebiasaan kita, kemudian memprediksi akibat yang dapat ditimbulkan, membuat daftar tindakan negatif, membuat daftar tidakan positif, analisa alternatif pemecahan masalah, dan…..aktivitas yang `nampaknya' ilmiah lainnya. Saya katakan disini bahwa saya sedang mengajak Anda unuk berani berkata TIDAK, untuk tidak terhanyut oleh kebiasaan yang tidak menguntungkan! Saya mau result! Hasil! Dengan cara yang sederhana tetapi efektif. Analisa ini dan itu baik sekali kalau Anda lakukan juga. Kalau Anda berhasil merumuskan dengan sistematik permasalahan Anda dan alternatif pemecahannya itu akan lebih baik lagi. Tetapi karena saya ingin Anda berhasil segera, maka yang saya tegaskan disini adalah Anda harus berani berkata "TIDAK" pada diri sendiri. Dare to say NO!

*) Agung Praptapa, adalah seorang dosen, pengelola Program Pascasarjana Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman, dan juga Direktur AP Consulting, yang memberikan jasa konsultasi bisnis dan training di bidang personal and organizational development. Alumni UNDIP, dan kemudian melanjutkan studi pascasarjana ke Amerika dan Australia, di University of Central Arkansas dan University of Wollongong. Mengikuti training dan mempresentasikan karyanya di berbagai universitas di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk di Ohio State University, Kent State University, Harvard University, dan University of London. 





Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.


Share |


Artikel Terkait:

Comments :

0 komentar to “Dare to Say "NO"”


Posting Komentar