Bulan lalu saya pulang ke Tarakan, kota kelahiran saya, untuk menghadiri resepsi pernikahan seorang saudara sekalian nyambangi orangtua saya. Keesokan harinya saya dan istri, Stephanie, beserta ayah saya nyekar ke makam kakek dan nenek. Sudah hampir dua tahun saya tidak pulang ke kampung halaman. Biasanya setiap awal April, saat ada upacara untuk mengenang para leluhur, saya pasti pulang. Namun karena kesibukan yang sangat luar biasa maka dua tahun terakhir ini saya terpaksa absen.
Saya menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk memberikan penghormatan dan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan mengenang semua jasa kebaikan, pelajaran, cinta, dan hidup yang telah dibagikan kepada saya, oleh kakek dan nenek saya tercinta. Walaupun mereka telah tiada, tidak bersama kami lagi, namun kehidupan yang mengalir melalui mereka dan terus ke kehidupan saya akan selalu saya kenang dan kembangkan.
Makam kakek dan nenek saya berdampingan dan letaknya di atas bukit. Jadi, kami perlu sedikit mendaki. Dalam perjalanan ke atas, kami melewati jalan sedikit berliku dan di samping kiri kanan terdapat banyak makam.
Tiba-tiba saya mendapat insight atau pencerahan. Saya melihat makam demi makam dan tidak ada satupun yang saya kenal. Yang ada hanya gundukan tanah dan batu nisan dengan tulisan nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat.
Jadi, apakah hanya ini yang bisa dicapai seorang manusia di akhir kehidupannya? Hanya seonggok tanah dengan penanda berupa batu nisan? Seonggok tanah sebagai tanda bahwa di sini terbaring seseorang yang dulu pernah hidup di dunia. Namun, siapakah orang ini? Tidak ada yang tahu kecuali keluarganya.
Atau mungkin keluarganya juga telah lupa karena saya menemukan ada beberapa makam yang tampak tidak terurus.
Pikiran saya langsung melayang ke saat anak pertama kami lahir. Dengan penuh suka cita kami menyambut Kehidupan yang hadir di dunia ini melalui kami tapi bukan dari kami.
Pertanyaan yang selalu berkecamuk di pikiran saya adalah, "Untuk apa saya lahir dan hidup?"
Pertanyaan yang sama juga muncul saat saya melihat batu nisan, khususnya saat saya melihat tanggal lahir dan wafat yang tertera di situ. Ada yang usianya masih sangat muda. Ada yang sangat lanjut.
Saat seorang anak manusia lahir, ada yang langsung menghitung jam lahir, hari, tanggal, bulan, tahun, dan menyimpulkan, "Wah, anak ini lahir dengan membawa hoki yang besar. Anak ini akan jadi orang luar biasa".
Hal yang sama juga dilakukan saat seseorang meninggal. Komentar yang saya biasa dengar adalah, "Wah, jam dan hari meninggalnya apik tenan. Bagus sekali. Ia perginya lancar, enak, dan mudah."
Namun, apakah pentingnya hidup ini hanya dilihat dari saat kita lahir atau meninggal?
Saat saya melihat batu nisan, tanggal lahir dan meninggal dipisahkan oleh satu garis kecil, saya mendapat "aha". Justru yang paling penting sebenarnya bukan tanggalnya tapi garis kecil itu.
Mengapa?
Karena garis kecil inilah sebenarnya hidup yang kita jalani. Garis kecil ini tidak saja mewakili berapa lama kita hidup namun juga apa karya kehidupan nyata yang kita lakukan selama menjalani hidup dan mengisi kehidupan. Cukup lama saya berdiri di depan makam orang yang tidak saya kenal dan merenungkan hal ini.
Saat lahir kita tidak membawa apa-apa. Demikian pula saat kita kembali ke Sang Hidup. Lalu, apa yang perlu kita lakukan untuk menjalani hidup supaya nanti saat "pergi" kita tidak hanya dikenang sebagai seonggok gundukan tanah dengan penanda berupa batu nisan?
Cari dan temukan tujuan hidup atau life purpose. Tujuan hidup ini levelnya paling tinggi dan di atas passion. Banyak orang bingung jika diajak bicara tentang purpose. Purpose sebenarnya simple. Purpose is about serving atau purpose adalah melayani.
Nah,bagaimana kita bisa melayani orang lain dengan tulus? Caranya mudah. Lihat diri sendiri. Apa yang ingin kita lakukan pada diri kita? Apa yang kita tahu pasti menyenangkan hati kita? Sekarang, dengan sikap dan pemahaman ini, alihkan ke orang lain. Saat kita melayani orang lain kita melepaskan fokus ego ke diri kita sendiri dan kita memusatkan perhatian dan cinta kita kepada orang lain untuk bisa membahagiakan mereka.
Namun jangan salah mengerti. Langkah awal adalah anda perlu membahagiakan diri anda sendiri. Mengapa? Karena kita tidak mungkin bisa memberikan sesuatu yang tidak kita miliki.
Bagaimana caranya kita bisa melayani?
Lihat apa yang menjadi kekuatan kita. Jangan ikut-ikut orang lain. Setiap orang punya kelebihan dan kekuatan. Fokuslah pada kekuatan (talenta atau bakat) kita dan kembangkan hingga ke titik optimal. Selanjutnya kita bisa melakukan karya kehidupan tidak saja untuk diri kita sendiri, orang-orang yang kita cintai, juga untuk masyarakat di sekitar kita.
Untuk bisa melakukan hal ini kita perlu perencanaan yang matang. Kita perlu peta perjalanan hidup. Saat sekolah dulu apakah kita tahu ke mana arah tujuan hidup kita? Saat kita menikah, apakah kita tahu hidup seperti apa yang akan kita jalani?
Banyak orang merencanakan dengan sangat detil resepsi pernikahan mereka. Bahkan saat ini banyak yang menggunakan EO (Event Organizer) yang mampu mengatur dengan sangat rinci segala pernik yang dibutuhkan untuk bisa membuat acara pernikahan berlangsung dengan lancar dan sukses. Dan tidak lupa juga ada dokumentasi yang sangat lengkap yang merekam momen bersejarah ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah, "Setelah malam pesta pernikahan, apa yang akan dilakukan pengantin baru ini? Apakah mereka juga telah merancang hidup mereka dengan begitu detil?"
Umumnya tidak. Banyak yang tidak merenanakan hidup yang akan mereka jalani. Itulah sebabnya Florence Littaeuer dengan sangat bijak berkata, melalui salah satu bukunya, "After every wedding comes a marriage".
Kalo menikah kita bisa minta bantuan EO. Namun untuk hidup kita harus merancang semuanya sendiri. Kita adalah EO untuk hidup kita sediri. Jika kita tidak merancang apa yang akan kita jalani maka seringkali orang lain yang akan melakukannya untuk kita dan ini tentunya tidak akan sejalan dengan yang kita inginkan.
Pada tataran yang lebih hakiki sebenarnya setiap detik kehidupan adalah momen bersejarah yang diabadikan oleh kamera kesadaran diri. Dengan kesadaran ini maka kita akan memanfaatkan waktu dengan hati-hati dan sungguh-sungguh.
Saat kita menjalani hidup sesuai dengan purpose maka saat itu kita menyalakan api lilin kehidupan kita. Pada momen ini kita bisa menjadi terang bagi orang lain. Dan yang lebih penting lagi kita bisa berbagi api untuk menghidupkan lilin orang lain.
Perjalanan hidup mengajarkan saya satu hal penting yaitu kebermaknaan hidup dinilai bukan dari berapa banyak yang bisa kita dapatkan dari kehidupan tetapi berdasarkan berapa banyak yang bisa kita kembalikan kepada Kehidupan melalui karya nyata hidup kita.
Saya akhiri tulisan ini dengan satu kata mutiara yang sungguh indah, "When you were born, you cried and the world rejoiced. Live your life in such a manner that when you die the world cries and you rejoice."
* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pakar pendidikan dan mind technology dan neuro-feedback, pembicara publik, dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri.
Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Comments :
0 komentar to “Kebermaknaan Hidup”
Posting Komentar