“Aku rasa hidup tanpa jiwa, orang yang miskin ataupun kaya sama ganasnya terhadap harta.”
-- Kantata Takwa dalam ‘Nocturno’
NAMANYA Gayus. Umurnya 30 tahun. Namanya beken saat ini. Dia menjadi salah satu aktor dari penggelapan pajak yang merugikan negara hingga belasan miliar rupiah. Gayus, pegawai Kantor Pajak, bermain tak sendiri. Ia bagian dari sindikat, yang melibatkan para aparat hukum. Padahal dari kabar di media, kita tahu gaji Gayus tidaklah kecil. Untuk golongan IIIA, ia mengantongi sedikitnya 12,1 juta per bulan. Itu sudah termasuk gaji pokok, ditambah tunjangan sana-sini. Tak hanya itu, istrinya juga bukan orang rumahan.
Namanya Tourre. Umurnya tak jauh dari Gayus, 31 tahun. Jabatan mentereng di usia muda disandangnya: Vice President Goldman Sachs. Satu perusahaan perbankan paling beruntung sepanjang sejarah Wall Street. Tourre ditenggarai otak dibelakang diterbitkannya CDO (collaterlized debt obligation) yang menggunakan aset-aset kredit berbau credit suprime sebagai aset dasarnya. Pada 16 April lalu, Goldman Sachs dan Tourre dituding oleh pengawas pasar modal AS, Securities and Exchange Commission (SEC) telah melakukan penipuan. Investor, menurut SEC, diperkirakan telah dirugikan sebesar US$ 1 miliar. Goldman dituduh mengelabui investor dan tidak memberikan informasi yang benar kepada para investornya.
Gayus dan Tourre. Sama-sama muda dan terkenal. Sama-sama dituduh curang dan serakah. Bedanya, Gayus terbukti bersalah dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia jelas mengkorupsi uang negara. Tourre masih perlu dibuktikan. Tapi semua tudingan dan kesalahan telah diarahkan ke perusahaan dan dirinya.
Gayus tidak dipanggil DPR, penegak hukumlah yang mengusutnya. Tourre belum, ia harus menjelaskannya di depan Senat. Ketamakanlah yang membawa Gayus (dan mungkin Tourre) pada petualangan yang mengantarkannya pada persoalan hukum. Tidak saja Gayus (dan Tourre) yang merugi, namun rentetan orang dekatnya, termasuk anak, istri, dan keluarga besarnya ikut tercoreng malu. Bahkan lembaga yang menaungi mereka terkena getahnya.
Perkara korupsi boleh dibilang semuanya disulut oleh ketamakan. Hal itu yang mendorong pelakunya untuk menambah kekayaannya apa dan bagaimanapun caranya. Membeli mobil terbaru dengan menilap uang negara. Padahal dari kantor sudah tersedia fasilitas serupa, misalnya. Pun demikian dengan tempat tinggal. Sejatinya dengan menempati rumah yang layak, tak perlu bagus pun, manusia bisa hidup dengan nyaman. Namun nyatanya, lagi-lagi, ketamakan mendorongnya pergi jauh hingga pada sebuah ketidaksadaran telah melakukan berbagai kesalahan.
Tamak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti serakah, rakus. Sudah banyak cerita tentang kerakusan manusia. Kharun, kisah dari negeri padang pasir misalnya. Karena rakus dan kikirnya, dia dan seluruh hartanya tenggelam. Itu sebabnya, temuan harta di lautan atau di mana saja sering kita sebut sebagai harta karun.
Ada juga legenda lokal. Kita mengenal Pak Bagendit yang kaya raya. Namun kikirnya gak ketulungan. Dia pelit. Terhadap orang miskin sekalipun. Ketamakannya menjadi visi hidupnya. Harta menjadi panglima hidupnya. Hingga akhirnya, seorang miskin yang sakit hati, menancapkan tongkat di rumahnya. Dari situ muncul air, yang kemudian menggenangi rumah dan kampungnya. Tanah itulah kemudian dikenal sebagai Situ Bagendit.
Inilah bahaya Pleonexia, tamak yang berlebihan. Tapi benarkah ketamakan hanya milik orang mampu saja? Don McClanen bahkan menganggap kondisi yang disebut Pleonexia telah menguasai Amerika. Katanya, ”Pleonexia is an insatiable need for more of what I already have, and it has penetrated our culture to the point where people are angry at the poor.”
Nyatanya memang, ketamakan tak melihat status sosial. Di stasiun kereta beberapa hari silam, seorang supir angkutan kota tetap memanggil penumpang untuk naik ke mobilnya. Padahal di dalamnya boleh dikata sudah terisi penuh oleh penumpang. Kalaupun dipaksa, malah membuat tidak nyaman penumpang lainnya. Penumpang yang sudah sesak dan kepanasan memintanya untuk segera berangkat. Namun dengan ketus, sang sopir menjawab, ”ah, masih ada satu lagi.”
Terdengar pelan sumpah serapah dari beberapa penumpang. Setengah berteriak, satu orang berujar bernada memprovokasi, ”Kelamaan, kita keluar aja cari yang lain!” Mendengar ajakan tersebut, tanpa dikomando lagi, sontak para penumpang yang telanjur sudah lama menunggu berhamburan meninggalkan angkot itu. Hasilnya, angkot itu kosong melompong. Tinggal si supir yang melongo.
Andai saja dia mau jalan, sudah tentu rezeki menjadi miliknya. Rezeki yang halal untuk anak dan istrinya di rumah. Sedikit rezeki teramat berarti bagi kelangsungan keluarganya. Namun apa daya, ternyata ketamakan membuat dia membuang rezeki di depan mata. Ini ibarat peribahasa lama, ’mengharap hujan dari langit, air di tempayan dibuang.’
Ketamakan pada akhirnya hanya menjadi panglima yang membimbing pada ketiadaan. Nafsu besar mengumpulkan harta lebih baik ditinggalkan. Sekecil apapun, bersyukurlah terhadap rezeki yang diperoleh. Dan cukup pula untuk berbagi dengan sesama yang kekurangan. Bukan begitu, kawan?
*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009
Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Comments :
0 komentar to “Ketamakan Milik Siapa”
Posting Komentar