Memecahkan Rekor

Setiap orang yang berhasrat besar untuk menjadi manusia yang lebih 
baik perlu merenungkan kata-kata Stuart B. Johnson berikut 
ini: "Urusan kita dalam kehidupan ini bukanlah untuk mendahului orang 
lain, tetapi untuk melampaui diri kita sendiri, untuk memecahkan 
rekor kita sendiri, dan untuk melampaui hari kemarin dengan hari ini."

Dalam era hiper kompetisi dewasa ini, bagaimana kita memahami kalimat 
yang demikian itu? Bukankah kita harus bersaing dengan orang lain, 
dengan siapa saja yang berusaha mengalahkan kita? Jika demikian cara 
berpikir kita, maka cerita yang dikirim seorang kawan berikut ini 
mungkin menarik untuk menjadi bahan renungan. 

LOMPATAN SI BELALANG.... . 

Di suatu hutan, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang 
muda ini adalah belalang yang lompatannya paling tinggi di antara 
sesama belalang yang lainnya. Belalang muda ini sangat membanggakan 
kemampuan lompatannya ini. Sehari-harinya belalang tersebut melompat 
dari atas tanah ke dahan-dahan pohon yang tinggi, dan kemudian makan 
daun-daunan yang ada di atas pohon tersebut. Dari atas pohon tersebut 
belalang dapat melihat satu desa di kejauhan yang kelihatannya indah 
dan sejuk. Timbul satu keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat 
dapat pergi ke sana. 

Suatu hari, saat yang dinantikan itu tibalah. Teman setianya, seekor 
burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. 
Dengan semangat yang meluap-luap, kedua binatang itu pergi bersama ke 
desa tersebut. Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat 
keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah 
berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang itu 
bertanya kepada anjing, "Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan di 
sini?"

"Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku 
karena aku adalah anjing terbaik di desa ini," jawab anjing dengan 
sombongnya. 

Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu 
berkata lagi, "Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku 
menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku 
menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi 
diantara kita." 

"Baik," jawab si anjing. "Di depan sana ada pagar yang tinggi. Mari 
kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut." 

Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut. Kesempatan 
pertama adalah si anjing. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu 
lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar 
yang setinggi orang dewasa tersebut tersebut. Kesempatan berikutnya 
adalah si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang tersebut 
melompat. Namun, ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga 
perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh 
kembali ke tempatnya semula. Dia lalu mencoba melompat lagi dan 
melompat lagi, namun ternyata gagal pula. 

Si anjing lalu menghampiri belalang dan sambil tertawa berkata, "Nah, 
belalang, apa lagi yang mau kamu katakan sekarang? Kamu sudah kalah." 

"Belum," jawab si belalang. "Tantangan pertama tadi kamu yang 
menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan 
tantangan kedua?" 

"Apa pun tantangan itu, aku siap," tukas si anjing. 

Belalang lalu berkata lagi, "Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita 
berlomba melompat di tempat. Pemenangnya akan diukur bukan dari 
seberapa tinggi dia melompat, tapi diukur dari lompatan yang 
dilakukan tersebut berapa kali tinggi tubuhnya." 

Anjing kembali yang mencoba pertama kali. Dari hasil lompatannya, 
ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi 
tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang 
hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun ketinggian 
lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi 
tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua 
ini. Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum. 

"Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi 
pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga," 
kata si anjing. 

"Tidak perlu," jawab si belalang. "Karena, pada dasarnya pemenang 
dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan 
standar perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan 
standar perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua 
saya yang menentukan, saya pula yang menang." "Intinya adalah, kamu 
dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda tentang 
kemenangan. Adalah tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan 
yang lain. Kemenangan sejati adalah ketika dengan potensi yang kamu 
miliki, kamu bisa melampaui standar dirimu sendiri. Iya nggak sih?"

Cerita sederhana di atas pernah membuat saya malu pada diri sendiri. 
Ketika masih berumur awal 30-an tahun, betapa sering saya membanding-
bandingkan diri saya dengan orang lain. Membandingkan antara profesi 
saya dengan profesi si Anu, antara pendapatan saya dan pendapatan si 
Banu, antara mobil saya dengan mobil si Canu, antara kesuksesan saya 
dengan kesuksesan si Danu, dan seterusnya. Hasilnya? Ada kalanya 
muncul perasaan-perasaan negatif, seperti iri hati atau kecewa pada 
diri sendiri, yang menganiaya rasa syukur atas kehidupan. Namun kala 
yang lain muncul juga semacam motivasi untuk bisa lebih maju dan 
berusaha lebih tekun agar bisa melampaui orang lain (pesaing?). 

Belakangan, saya menemukan cara bersaing yang lebih cocok untuk diri 
sendiri. Saya mulai mengukur kemajuan saya tahun ini berdasarkan 
prestasi saya tahun kemarin. Saya tetapkan bahwa tahun ini saya harus 
lebih sehat dari tahun kemarin; pendapatan dan sumbangan tahun ini 
diupayakan lebih tinggi dari tahun lalu; pengetahuan yang disebarkan 
tahun ini ditingkatkan dari tahun silam; relasi dan tali silahturahmi 
juga direntangkan lebih lebar; kualitas ibadah diperdalam; perbuatan 
baik dipersering; dan seterusnya. Dengan cara ini, saya ternyata 
lebih mampu mengatasi penyakit-penyakit seperti iri hati, dengki, dan 
rasa kecewa pada diri. Berlomba untuk memecahkan rekor pribadi yang 
baru, melampaui rekor yang tercapai di masa lalu, ternyata 
menimbulkan keasyikan dan rasa syukur yang membahagiakan. 

Mungkin benar kata orang bijak dulu: kemenangan sejati bukanlah 
kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas hawa nafsu diri 
sendiri. Setujukah? 

Tabik Mahardika! [aha]

Sumber: Memecahkan Rekor oleh Andrias Harefa.





Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.


Share |


Artikel Terkait:

Comments :

0 komentar to “Memecahkan Rekor”


Posting Komentar