Saat pergi ke kantor, pulang kantor atau ke mana pergi dengan berkendara. Saya seringkali menjumpai pengendara-pengendara lain yang dengan seenaknya menyalip saya ataupun kendaraan lain tanpa memperhatikan keselamatan atau perasaan orang lain yang menjadi korban penyalipannya. Seringkali saya jengkel karena menjadi korban penyalipan, kadang saya hanya bisa mengusap-usap dada saya sambil tidak abis pikir kok tega-teganya dia melakukan penyalipan itu pada saya.
Suatu waktu saya pernah juga saya emosi hingga tidak ada yang mau mengalah hingga akhirnya terjadi adu mulut, alasan yang dikemukakan si penyalip bahwa ia buru-buru, saya gak mau kalah saya bilang siapa sih yang gak buru-buru pagi-pagi begini, kalau gak mau buru-buru kenapa gak berangkat lebih pagi saja. Akhirnya peristiwa ini berlalu saja tanpa ada penyelesaian.
Pernah juga suatu kali saya menemukan ada pengendara motor yang terjatuh karena tidak sabar dan berusaha menyalip sebuah mobil dengan kecepatan tinggi, syukurlah keadaan jalan pada saat itu sepi dan si pengendara mobil menjalankan kendaraannya dalam kecepatan rendah jadi kecelakaan tersebut tidak terlalu fatal walaupun ya…tetap saja sakit juga kalo jatuh dari motor.
Saat lampu menyala merah, para pengendara sepeda motor – kadang-kadang saya juga – menyelip berusaha mencari celah walau sesempit lubang jarum yang penting bisa masuk untuk sampai di jajaran paling depan, seringkali mengambil jalur kiri yang diperuntukkan untuk kendaraan yang hendak belok ke kiri, demi suatu hal cepat sampai di tujuan terang saja pengendara yang hendak berbelok ke kiri jadi sewot.
Saya juga pernah jatuh dari sepeda motor saya karena jalanan yang licin akibat tangki diesel milik sebuah bus bocor dan cecerannya membasahi jalan. Saat jatuh saya ditolong oleh tukang-tukang ojek yang mangkal dekat situ. Ternyata saya adalah korban ke sekian yang ditolong oleh para tukang-tukang ojek, karena beberapa menit yang lalu sudah ada dua orang yang menjadi korban. Saya gak abis pikir koq bisa-bisanya tangki itu gak diperiksa dulu sebelum bus dijalankan trus si sopir baru sadar setelah beberapa pengendara memberitahukan hal tersebut.
Belum lama ini saya ngobrol-ngobrol dengan seorang teman sekantor yang juga pernah menjadi korban ganasnya lalu lintas Jakarta. Kita sama-sama mengeluh, tapi ada hal yang dikemukakannya yang menurut saya sangat inspiratif.
Dia memulai ceritanya dengan penyakit stroke yang menyerangnya saat ia berusia akhir 30 tahun, sehingga beberapa syarafnya menjadi tidak berfungsi hal ini membuat sang kawan tersebut agak kesulitan untuk melakukan beberapa hal yang menurut kita remeh tapi baginya sulit. Setelah stroke menyerangnya terjadi perubahan yang cukup drastis. Yang tadinya ia sering mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi sekarang ia harus mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan normal, yang tadinya bisa selip sana selip sini, slonong sana slonong sini sekarang ia menjadi pengendara sepeda motor yang tertib karena koordinasi antar syaraf yang telah rusak.
Ia berkata bahwa sekarang ia tidak bisa seperti dulu lagi tapi sekarang ia bersyukur karena ia tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.
“Kalau kita tidak bisa menjadi berkat bagi orang lain, setidak-tidaknya janganlah kita jadi batu sandungan bagi orang lain” demikian katanya. Saya terus terang tersentak mendengar kata-katanya, saya lalu bercermin diri karena seringkali saya menjadi batu sandungan bagi orang lain ketimbang jadi berkat bagi orang lain. Di jalan sering kali saya mengumpat dan memaki jika saya disalip oleh pengemudi lain, saya sering membuat orang lain senewen kadang juga istri saya senewen karena cara mengemudi saya yang membuat jantungnya berolahraga.
Selepas ngobrol-ngobrol itu saya berusaha tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain terutama di jalan tapi itu berat banget. Gila betul pikir saya tidak jadi batu sandungan saja sudah sulit gimana jadi berkat. Godaan-godaan banyak sekali muncul sampai kadang-kadang saya mengeluh. “Ya Tuhan saya kan gak minta yang besar-besar dan muluk-muluk yaitu jadi berkat bagi orang lain, saya Cuma minta supaya tidak jadi batu sandungan bagi orang lain”
Namun kembali muncul suara nun jauh di dasar hati saya. “Singkirkan dulu batu-batu sandungan yang ada dalam dirimu baru kamu bisa tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain”. Wah benar juga pikir saya. Sering dalam hati kita, kita temukan batu-batu mo batu yang segede apa tau sampai kerikil-kerikil yang sering nyelip di sela-sela sepatu kita pasti ada aja batu-batu itu. Saya pikir saya harus berdamai dengan diri sendiri dulu baru batu-batu itu perlahan-lahan bisa disingkirkan dan kita bisa tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain bahkan lebih, kita bisa menjadi berkat bagi orang lain yang kita temui, siapapun dia.
Kalo menurut saya batu-batu tersebut misalnya dendam, iri, dengki, egois dan segala turunannya yang buruk-buruk gitulah. Ada hal-hal yang sebenarnya belum kita bereskan yang akhirnya bertumpuk-tumpuk hingga masuk ke bawah sadar kita menjadi paradigma kita dalam memandang sesuatu. Atau bahasa yang lebih indahnya kita belum berdamai dengan diri kita sendiri. “Kan mustinya dia begini jangan begitu dong ke kita”. “Kamu seharusnya ngerti dong kalo saya tuh maunya begini bukan begitu”. Saya pikir benar juga, kita mungkin memahami suatu masalah dari kacamata kita sendiri dari paradigma kita sendiri, tapi apa pernah kita memandang dari kacamata atau paradigma orang lain terhadap suatu realitas yang sama? Atau apakah kita tahu dan sadar betul bahwa apa yang kita lakukan itu baik adanya untuk semua pihak bukan untuk pihak saya? Atau pernahkah kita memahami orang lain sebelum kita minta dipahami oleh orang lain.
Yang menariknya setelah berusaha cukup keras dan harus membuang batu-batu dalam hati, saya itu saya lebih nyantai dan tenang dalam menghadapi masalah-masalah di jalan. Peduli kalian mo kebut-kebutan, ..gi dah sono, toh ntar ketemu lagi di depan, gimana nggak wong jalanannya macet ato kena lampu merah. Gi deh sono kebut-kebutan ntar juga harus pelan karena jalanan di depan bopeng-bopeng atau ada polisi tidur yang melintang menghadang. Biarin aja kalian ngebut-ngebut toh tiba lebih cepat yang kalian damba-dambakan harus dibayar oleh jantung yang berolahraga high impact aerobic syukur-syukur kalo gak kecelakaan. Kayaknya untuk hal yang satu ini saya jadi teringat pepatah Jawa alon-alon waton kelakon. Lebih baik biasa-biasa aja tapi gak cepat sakit syaraf karena stress dan yang penting lebih safe.
Andrew Jansen.
Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Comments :
0 komentar to “Tidak Menjadi Batu Sandungan”
Posting Komentar