Uang


Deni sedang kesulitan keuangan, begitu kata teman-temannya. Kok tahu? 
Karena setiap kali kekurangan uang, Deni selalu sibuk meminjam uang 
sana sini. Beberapa temannya ada yang menolak karena setiap bulan dia 
meminjam uang. 

Memang, setelah gajian pasti dibayar, tapi beberapa hari kemudian 
pinjam lagi. Lama-kelamaan teman-temannya merasa keberatan. Kalau 
sudah demikian, maka Deni sibuk mencari-cari siapa yang dapat 
meminjamkan uangnya. 

Akhirnya Deni mendapatkan juga uang yang dibutuhkannya dari pinjaman 
seorang office boy. Sebenarnya Deni malu. Uangnya sudah habis padahal 
baru tanggal 16. Dia sudah tidak punya uang lagi untuk naik kereta ke 
kantor dan untuk biaya makan. 

Ketika dia sedang berkeluh kesah dan bingung, tiba-tiba office boy 
menawarkan uangnya. Dia tidak sampai hati melihat Deni kesulitan. 
Deni tadinya menolak karena malu. Masak staf meminjam uang dari 
office boy? Tapi orang tersebut benar-benar rela ingin membantunya, 
sehingga akhirnya Deni menerima bantuannya. 

Dalam hati kecilnya Deni merasa sangat malu. Malu sekali!. Tapi Deni 
terpaksa menerimanya, dia benar-benar tidak punya uang. Keesokan 
harinya dia ingin mencari office boy tersebut dan mengajaknya 
berbincang-bincang. Deni penasaran. Mengapa office boy tersebut bisa 
punya uang lebih dan bahkan bisa meminjamkan uangnya kepada Deni? 

Bukankah gaji Deni lebih besar? Mereka sama-sama masih bujangan, 
belum menikah. Tapi, mengapa office boy tersebut bisa menyimpan uang 
sedangkan Deni selalu kehabisan uang? Kok bisa? Apa kuncinya? 

Siangnya Deni baru mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dan 
bertukar pikiran. Office boy itu memang sangat istimewa. Dia paling 
rajin bekerja. Paling tuntas mengerjakan semua tugasnya. Tidak pernah 
terlambat masuk kerja. Padahal kalau dilihat penampilannya sepertinya 
biasa saja. Orangnya sederhana, agak kurus dan sopan, tapi tidak 
terkesan menjilat. 

Sambil makan siang bersama di warung sebelah, Deni mulai menggali 
kunci sukses menyimpan uang yang dilakukan office boy 
tersebut. "Bagaimana caranya sih, kok bisa mempunyai uang lebih? Gaji 
saya selalu habis setelah tengah bulan." Deni membuka percakapan. 

Office boy tersebut mulai bercerita. "Saya dulu juga begitu, mas. 
Gaji saya selalu habis sebelum akhir bulan. Akhirnya saya terpaksa 
meminjam dari teman. Tapi setelah meminjam, rasanya gaji saya semakin 
tidak cukup. Karena setiap kali gajian, saya harus mengembalikan uang 
yang saya pinjam di bulan sebelumnya. Jadi uang gaji saya berkurang. 
Akibatnya saya semakin kekurangan mas. Gaji utuh saja tidak cukup, 
apalagi setelah dipotong untuk membayar utang. Ya, semakin berkurang 
lah mas. Semakin lama, utang saya semakin banyak" 

Benar juga, pikir Deni. Pikiran yang sederhana tapi mengandung 
kebenaran karena seperti itulah yang dialaminya. "Jadi bagaimana 
caranya melepaskan diri dari lilitan utang?" tanya Deni. 

"Waktu itu saya diajari oleh nenek saya. Saya pernah pulang kampung 
tanpa membawa uang banyak. Waktu itu nenek saya bertanya kemana gaji 
saya. Saya bilang sudah habis. Langsung saya dipanggil dan diberi 
wejangan oleh beliau." katanya. 

Nenek saya berkata: "Uang itu seperti air. Air selalu mengalir ke 
tempat yang lebih rendah. Kalau tidak dibendung, maka air akan 
mengalir terus. Seperti sungai. Harus dibendung. Setelah dibendung, 
maka uang akan berhenti mengalir dan akan mulai bertambah banyak." 

Hidup prihatin 

Waktu itu saya bertanya: "Bagaimana cara membendungnya? " Nenek saya 
menjawab tegas:"Prihatin. Bulan depan jangan utang lagi." 

"Tapi nanti kurang nek." 

"Tidak", kata nenek. "Begini caranya. Begitu terima gaji, segera 
lunasi utangmu. Sisanya harus dicukupkan untuk sebulan. Jangan utang. 
Kamu jangan makan di luar atau jajan. Kalau perlu makan nasi putih 
dan garam, kecap atau kerupuk saja. Pasti cukup." Lalu saya diajak 
menghitung berapa uang yang harus saya sisihkan untuk ongkos, berapa 
untuk beli beras, garam, kecap dan kerupuk, dan lain-lain. 

Nenek benar-benar meminta saya hidup secara prihatin. Saya tidak 
boleh naik ojek lagi. Dari rumah saya harus berjalan kaki ke jalan 
raya tempat saya naik angkutan umum. Pulangnya juga tidak naik ojek 
karena ojek cukup mahal. Uang saya memang pas-pasan untuk hidup 
ngirit seperti itu. Tapi memang cukup sih." 

"Bulan depannya, saya disarankan untuk melanjutkan hidup seperti itu. 
Bulan depannya, uang gaji saya sudah mulai ada yang bisa saya 
sisihkan untuk ditabung. 

Bulan ketiga saya mulai makan lebih banyak demi menjaga kondisi tubuh 
saya, bukan lagi dengan garam dan kecap. Tapi dua bulan hidup 
sederhana telah membuat saya tidak ingin beli apa-apa lagi. Makanan 
saya cukup sederhana saja. Saya tidak lagi suka jajan. Saya tidak 
pernah naik ojek lagi. Dari situlah saya mulai bisa menabung mas. 
Sampai sekarang." 

Deni bertanya:"Boleh tahu berapa tabungan kamu? Tapi kalau kamu 
keberatan menjawab, tidak apa-apa. Tak usah dijawab." 

"Tidak apa-apa mas. Tabungan saya hampir enam juta rupiah. Saya ingin 
menabung untuk biaya pernikahan saya tahun depan Mas." 

Deni hanya bisa terharu. Yang penting niat. Kalau mau ngirit, pasti 
bisa. Mengapa uangnya habis terus? Karena pengeluaran Deni cukup 
besar. Padahal sebenarnya bisa dikurangi. Tapi Deni cenderung 
memanjakan dirinya. Dia selalu memilih naik ojek. Makan siang selalu 
di luar, tidak pernah mau membawa nasi atau makanan dari rumah. 
Pengeluarannya jauh melebihi gaji yang diperolehnya. 

Rasa haru campur malu membuat Deni bertekad mengubah cara hidupnya. 
Dia juga ingin membendung uang yang dimilikinya. Dia takkan 
membiarkan uangnya mengalir terus. Harus segera dibendung. Mulai 
kapan? Hari ini! Change! Start today! Start now!

Sumber: Uang oleh Lisa Nuryanti





Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.


Share |


Artikel Terkait:

Comments :

0 komentar to “Uang”


Posting Komentar