Miskin Tapi Bahagia


"Orang termiskin yang aku ketahui adalah orang yang tidak mempunyai 
apa-apa kecuali uang."

– John D. Rockefeller JR

Dalam rubrik Kilasan Kawat Sedunia, Harian KOMPAS pernah memuat 
ringkasan hasil survei yang menarik perhatian saya. Ia menceritakan 
hubungan antara uang—indikator utama yang sering dipergunakan untuk 
mengukur seberapa kaya atau seberapa miskin seorang anak manusia itu—
dengan kebahagiaan. Survei yang unik dan jarang dilakukan ini—setahu 
saya belum pernah ada survei semacam ini di Indonesia—mungkin dapat 
memberi pelajaran tertentu pada kita. Berikut petikannya: 

Pemeo "uang tak bisa membeli kebahagiaan" ternyata memang benar. 
Sebuah survei di Australia menunjukkan, kaum kelas menengah di 
Sydney masuk kategori warga yang paling menderita di Australia. 
Sebaliknya, tingkat kebahagiaan warga yang hidup di beberapa daerah 
pemukiman paling miskin malah lebih tinggi. 

"Pengaruh uang pada kebahagiaan nyatanya hanya terasa pada golongan 
yang luar biasa kaya," kata Liz Eckerman, peneliti dari Universitas 
Deakin, seperti dikutip kantor berita AFP, Senin (13/2). 

"Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Ini jelas terbukti dalam jajak 
pendapat yang kami lakukan pada 23.000 warga yang sudah kami 
wawancarai," kata Eckerman kepada Radio Australia, ABC. 

Temuan-temuan yang disusun sejak tahun 2001 menunjukkan bahwa di 
Australia, negara dimana tak ada kesenjangan kemakmuran yang 
ekstrem, mereka yang hidup paling bahagia ada di lapisan bawah. 
Mereka yang happy juga lebih banyak berada dalam kategori usia 55 
tahun atau lebih, lebih banyak di antara kaum perempuan, dan 
kebanyakan pula ada di antara mereka yang menikah alias yang tak men-
jomblo. 

Survei ditujukan untuk mengungkap kepuasan seseorang terkait dengan 
berbagai hal, seperti standar hidup, kesehatan, pencapaian dalam 
hidup, dan keamanan. Di antara 150 daerah sasaran survei, salah satu 
daerah termiskin di Australia, yakni Wide Bay di pedalaman 
Queensland, penduduknya ternyata termasuk yang paling bahagia di 
negeri kangguru itu.

Terus terang, saya tidak tahu seberapa banyak uang yang harus 
dimiliki seseorang untuk bisa masuk dalam kategori kelas menengah di 
Sydney. Juga tidak terlalu jelas bagi saya berapa jumlah uang yang 
dimiliki oleh rata-rata penduduk Wide bay di pedalaman Queensland, 
sehingga mereka disebut daerah termiskin di negara tersebut. Lalu, 
berapa pula harta yang dimiliki seseorang agar bisa disebut Eckerman 
sebagai "luar biasa kaya"? Datanya tidak disebutkan oleh KOMPAS.

Namun, terlepas dari minimnya data yang bisa kita peroleh, tetaplah 
menarik ketika Eckerman, peneliti itu, membuat kesimpulan bahwa yang 
hidup paling bahagia di Australia adalah penduduk di lapisan bawah 
(miskin); kebanyakan berusia 55 tahun atau lebih; kebanyakan 
perempuan; dan kebanyakan menikah. Mereka inilah yang paling merasa 
puas dengan standar hidup mereka, puas dengan kesehatan mereka, puas 
dengan pencapaian dalam hidup mereka, dan puas dengan keamanan di 
lingkungannya. Mereka inilah orang-orang yang miskin, tetapi kaya. 
Miskin dalam harta benda, tetapi kaya dalam kepuasan hidup. Sungguh 
sebuah realitas yang memesona. 

Ada beberapa pelajaran yang saya pulung dari survei di atas. 
Pertama, saya menduga penelitian tersebut menempatkan rasa puas—atas 
standar hidup; atas kesehatan; atas pencapaian dalam hidup; dan atas 
keamanan di lingkungannya— sebagai indikator utama kebahagiaan. Dan 
jika hal itu kita gunakan untuk bercermin, maka kita bisa mencoba 
menjawab empat pertanyaan berikut: 

1. Apakah saya puas dengan standar hidup kita sejauh ini?
2. Apakah saya puas dengan kesehatan saya sejauh ini? 
3. Apakah saya puas dengan apa yang sudah saya capai dalam hidup 
sejauh ini? 
4. Apakah saya puas dengan keamanan di lingkungan saya sejauh ini? 

Bisakah kita menjawab YA dengan mantap untuk keempat pertanyaan 
sederhana semacam itu? Atau mungkin jawaban kita perlu diberi bobot 
tertentu, katakanlah untuk tiap jawaban menggunakan skala 1-5. Angka 
1 berarti TIDAK PUAS SAMA SEKALI, angka 2 berarti TIDAK PUAS; angka 
3 berarti CUKUP PUAS; angka 4 berarti PUAS; dan angka 5 berarti 
SANGAT PUAS. Sehingga, total nilai 12 berarti CUKUP PUAS dan total 
nilai 20 berarti SANGAT PUAS. Mereka yang bisa mengumpulkan nilai 
mendekati angka 20-lah yang pantas kita anggap bahagia. Nah, dengan 
demikian kita bisa mengukur seberapa bahagia diri kita masing-
masing, setidaknya untuk saat ini. Lalu kita juga bisa menyadari 
pada bagian mana dari keempat hal tersebut yang kita rasa paling 
meresahkan dan mengurangi kebahagiaan hidup kita sejauh ini. Dari 
sini kita kemudian bisa memikirkan cara-cara yang bisa dilakukan 
untuk meningkatkan kebahagiaan kita. 

Pelajaran kedua yang saya petik adalah soal hubungan antara 
uang/kekayaan dengan kebahagiaan. Sudah lama saya mengetahui bahwa 
uang dan kebahagiaan adalah dua hal yang tidak selalu berkaitan. 
Setidaknya saya mengenal sejumlah kawan yang punya uang miliaran 
rupiah dan kadang mengaku bahwa hidupnya tidak bahagia. Sementara 
itu sejumlah kawan lain yang uangnya tidak sampai miliaran tak 
pernah saya dengar mengeluhkan soal apakah dirinya bahagia atau 
tidak. Jadi saya sering bingung jika melihat sebagian kawan berjuang 
mati-matian untuk bisa kaya karena percaya kalau kekayaan bisa 
membuat mereka pasti bahagia. Sementara yang sudah jauh lebih kaya, 
mengaku tidak bahagia. Nah, atas kebingungan inilah survei Eckerman 
tadi bisa memberi sedikit penjelasan. Hanya pada orang atau golongan 
yang "luar biasa kaya", ada hubungan antara uang mereka dengan 
kebahagiaan mereka. Seakan-akan ada semacam ambang batas kekayaan 
yang bisa membuat kekayaan itu berdampak langsung pada kebahagiaan. 
Ambang batas itu tidak disebut, mungkin satu juta dolar Amerika, 
atau jumlah yang lebih besar. 

Pelajaran ketiga, dan buat saya paling mengesankan, adalah 
kesimpulan survei tersebut yang menunjuk sebuah daerah termiskin di 
pedalaman Queensland memiliki penduduk yang paling bahagia. 
Kesimpulan ini sungguh membesarkan hati. Sebab ini membuka 
kemungkinan bahwa kawan-kawan saya di pelosok-pelosok yang sulit 
terjangkau sarana transportasi modern—seperti di Papua, misalnya—
amat boleh jadi adalah orang-orang yang paling bahagia hidupnya. 

Nah, apakah Anda kaya atau Anda bahagia? 

Tabik Mahardika![aha] 

"Tidak ada kemiskinan yang lebih parah selain perasaan disingkirkan 
dan tidak diinginkan."
—Bunda Teresa

Sumber: Miskin Tapi Bahagia oleh Andrias Harefa, Penulis 28 Buku Laris. 





Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.


Share |


Artikel Terkait:

Comments :

0 komentar to “Miskin Tapi Bahagia”


Posting Komentar