"Tujuan tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai
kebahagiaan. Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari
perangkap kebencian dan kebahagiaan. "
~Y.M. Sri Pannyavaro
Suatu sore saat saya sedang asyik menikmati musik di dalam mobil,
dalam perjalanan pulang dari kantor, tiba-tiba HP saya berdering.
Siapa yang menelpon saya? Ternyata seorang bapak, sebut saja Pak
Budi, yang ingin membuat janji bertemu untuk saya terapi.
Saat itu saya sedang sibuk sekali menyelesaikan satu proyek besar
sehingga untuk sementara waktu saya terpaksa tidak bisa menerima
klien. Saya menjelaskan situasi saya kepada Pak Budi dan mohon maaf
karena tidak bisa menerimanya.
Namun Pak Budi tidak putus asa dan terus ingin membuat janji
bertemu. Beliau berkata bahwa ia telah membaca buku-buku saya,
khususnya Manage Your Mind for Success, Hypnosis: The Art of
Subconscious Communication, dan Becoming a Money Magnet. Selain itu
ia juga telah mengikuti seminar saya beberapa kali. Dan ia yakin
saya bisa membantu menyelesaikan masalahnya.
Saya tetap berusaha secara halus untuk mengatakan bahwa saya tidak
bisa, sampai akhirnya Pak Budi berkata, "Pak Adi, saya yakin Bapak
yang bisa membantu saya. Saya sudah ke terapis lain dan selama dua
tahun saya hanya diberi obat penenang. Saat ini saya depresi berat
dan ada kecenderungan untuk bunuh diri."
Melihat gentingnya situasi ini saya langsung mengatakan, "Pak Budi,
besok kita bertemu di rumah saya jam 16.00 tepat. Saya akan atur
ulang jadwal saya besok sehingga saya bisa ada waktu untuk membantu
Bapak."
Esoknya, Pak Budi datang tepat pukul 16.00. Saya membutuhkan waktu
sekitar 3 jam, mulai interview mendalam hingga aplikasi prosedur
terapeutik untuk membantu Pak Budi mengatasi masalahnya.
Pembaca, jangan khawatir. Dalam artikel ini saya tidak akan
menjelaskan prosedur terapeutik yang saya gunakan karena akan
terlalu teknis. Namun ada hal yang sangat menarik yang bisa kita
petik hikmahnya dari apa yang terjadi pada diri Pak Budi.
Pak Budi sebelumnya tinggal di Medan dan bekerja di suatu
perusahaan. Hidupnya saat itu sudah mapan. Ia sangat bahagia dan
menikmati hidup. Namun satu kejadian mengubah arah hidupnya. Ia
dipindah ke kota Surabaya. Selang beberapa saat kemudian ia
mengalami PHK.
Saat saya tanyakan mengapa dan bagaimana sampai bisa depresi ia
menjawab, "Setelah di-PHK saya merasa bingung. Nggak tahu mau kerja
apa. Saya down dan malu. Saya malu dengan diri saya sendiri. Saya
malu dengan keluarga saya. Saya malu dengan anak dan istri saya.
Saya lalu mencoba berwirawasta. Hasilnya malah tambah terpuruk.
Sudah dua tahun ini toko saya sepi. Saya susah tidur karena pikiran
saya selalu memikirkan hal-hal negatif."
Pembaca, apa yang terjadi pada diri Pak Budi sebenarnya sederhana.
Pak Budi tidak bisa menerima (baca: membenci) keadaannya saat ini.
Yang ia inginkan adalah masa-masa bahagia seperti waktu ia masih
bekerja di Medan.
Saat membantu Pak Budi mengatasi masalahnya saya langsung teringat
ucapan bijak yang dikatakan oleh Y.M. Pannyavaro di atas: "Tujuan
tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai
kebahagiaan. Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari
perangkap kebencian dan kebahagiaan. "
"Pak, tahukah Bapak kalau kemarahan dan kebencian itu sangat
berbahaya?" tanya saya.
"Oh, sudah tentu Pak," jawab Pak Budi mantap.
"Nah, tahukah Bapak bahwa kebahagiaan juga berbahaya bagi diri
kita?" kejar saya lagi.
"Maksud Pak Adi? Bukankah yang dicari semua orang adalah kebahagian?
Saya tidak mengerti bagaimana kebahagiaan bisa berbahaya bagi hidup
kita?" jawab Pak Budi bingung.
"Apa yang Bapak rasakan sekarang, depresi, adalah akibat dari
kebahagiaan yang Bapak inginkan. Pikiran Bapak tidak bisa menerima
saat kebahagiaan itu tidak lagi Bapak alami saat ini. Pikiran Bapak
menolak menerima kenyataan bahwa kebahagiaan itu telah berlalu.
Padahal ini hanya bersifat sementara," jawab saya.
Saat kita bertemu dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan yang kita
inginkan maka kita biasanya akan merasa tidak senang. Perasan tidak
senang selanjutnya berkembang menjadi jengkel. Jengkel lalu
berkembang menjadi marah dan akhirnya mengkristal menjadi kebencian.
Saat pikiran dipenuhi dengan kebencian maka pikiran akan
sangat "kreatif" untuk mengarahkan persepsi, ucapan, dan perbuatan
atau tindakan untuk bisa memuaskan kebencian. Hasilnya? Sungguh
sangat destruktif.
Hal yang sama juga berlaku saat kita bertemu dengan hal yang kita
inginkan. Saat itu kita merasa senang atau bahagia. Kalau bisa
perasaan senang atau bahagia ini jangan sampai berlalu. Kalau bisa
kita senang atau bahagia terus. Jika kesenangan atau kebahagiaan itu
sampai lepas atau hilang atau tidak lagi kita rasakan maka muncul
perasaan tidak senang. Perasan tidak senang selanjutnya akan berubah
menjadi jengkel, marah, dan akhirnya menjadi kebencian.
Bila ditelaah secara lebih mendalam maka sumber depresi Pak Budi
adalah keinginan untuk bisa terus bahagia. Pak Budi tidak bisa
menerima kalau ia di-PHK dan akhirnya harus menjalani hidup yang
berbeda dengan yang ia jalani sebelumnya.
Lalu apa solusinya? Di luar prosedur terapeutik yang saya lakukan
saya berusaha membantu Pak Budi untuk bisa melihat proses perjalanan
hidupnya dengan perspektif yang berbeda.
Segala sesuatu di dunia ini tidak abadi. Yang abadi hanya satu yaitu
ketidakabadian itu sendiri. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa
ditolak atau dilawan dengan kekuatan apa pun. Pemahaman ini sangat
penting agar kita dapat melihat dan menjalani hidup dengan benar dan
tidak melekat baik pada kebencian maupun kebahagiaan.
Saya lalu menjelaskan pada Pak Budi prinsip kerja pikiran, "Pikiran
hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Jika Bapak sedih
atau depresi maka yang terjadi adalah layar mental Anda memutar film
sedih. Anda tidak memberi kesempatan pada diri Anda sendiri untuk
bisa merasa bahagia."
"Lha, bagaimana mau senang Pak. Kondisi saya saat ini begini parah.
Dalam waktu beberapa bulan lagi saya harus pindah kontrakan. Istri
saya akan melahirkan anak kedua. Saya benar-benar stress," keluh Pak
Budi.
"Ya itu tadi Pak. Bapak tidak mengizinkan pikiran Bapak untuk
memainkan film yang bisa membuat Bapak senang dan bahagia," jawab
saya.
Saya lalu mengajarkan teknik pemusatan perhatian dan visualisasi
untuk bisa membantu Pak Budi mengarahkan pikirannya.
Hal lain yang saya sarankan untuk Pak Budi lakukan adalah agar ia
menyadari dan menghitung berkah dalam hidupnya saat ini. Saya ingin
Pak Budi mensyukuri apa yang ia miliki saat ini. Tujuannya adalah
untuk bisa menyibukkan pikirannya dengan hal-hal positif. Selain itu
untuk bisa membuatnya "feel good".
Saat diminta untuk menghitung berkah dalam hidupnya saya melihat
perubahan yang cukup signifikan pada raut wajah dan postur tubuh Pak
Budi. Saya kemudian meminta ia mengutarakan hal-hal yang patut ia
syukuri dalam hidupnya, "Saya bersyukur punya istri yang baik, yang
selalu mendukung saya dalam kondisi apa pun. Istri saya tidak pernah
mengeluh mengenai keadaan saya. Istri saya menerima saya apa adanya.
Demikian juga dengan anak saya. Anak saya begitu mencintai saya.
Saya punya keluarga yang sangat mencintai saya."
"Bapak tadi datang naik apa?" tanya saya
"Naik mobil, Pak," jawab Pak Budi.
"Bukan naik angkutan umum atau sepeda motor?" kejar saya.
"Bukan, Pak. Saya naik mobil," jawab Pak Budi.
"Pak, Anda sungguh beruntung lho. Ada sangat banyak orang yang tidak
mampu beli mobil. Ada banyak orang yang kena PHK kemudian
keluarganya berantakan. Ada banyak orang yang tidak punya rumah
tinggal. Ada banyak orang yang satu hari belum tentu bisa makan tiga
kali. Bapak sungguh beruntung dengan kondisi Bapak saat ini," jelas
saya.
"Ya Pak. Saya mengerti apa yang Pak Adi katakan. Yang sulit adalah
mengendalikan pikiran saya Pak. Sulit untuk bisa positif. Saya
selalu berpikir negatif," keluh Pak Budi lagi.
"Oh, untuk itu gampang. Nanti saya ajarkan satu teknik terapi yang
Bapak bisa lakukan sendiri di rumah. Bapak sulit berpikir positif
karena selama dua tahun telah terbiasa melatih pikiran, lebih
tepatnya membiarkan pikiran menjadi terbiasa, memikirkan hanya hal-
hal yang negatif. Pikiran Bapak sudah punya habit memikirkan yang
negatif. Nanti kita latih ulang agar habitnya memikirkan yang
positif," kata saya membesarkan hati Pak Budi.
Seringkali kita benci atau bahagia dengan menggunakan tolok ukur
yang kurang tepat. Kita benci dengan keadaan kita karena kita
membandingkan diri kita dengan orang di atas kita. Kita ingin bisa
seperti orang lain yang hidupnya lebih baik dari kita. Seringkali
kita lupa untuk membandingkan diri kita dengan orang lain yang
kondisinya di bawah kita.
Dua minggu setelah pertemuan dengan Pak Budi saya mendapat telpon.
Pak Budi melaporkan bahwa sekarang ia sudah jauh lebih baik
kondisinya. Sudah lebih tenang dan sudah bisa tidur. Pikirannya
sudah sangat positif. Pak Budi berkata, "Terima kasih Pak Adi atas
waktu dan bantuan yang telah diberikan kepada saya."
"Pak, bukan saya yang membantu atau menyembuhkan Bapak. Saya hanya
bertindak sebagai penunjuk jalan. Bapak yang menyembuhkan diri Bapak
sendiri. Bapak tidak sakit kok. Bapak hanya salah belajar. Pikiran
Bapak kurang tepat dalam memaknai kejadian atau pengalaman hidup.
Terima kasih juga karena Bapak telah memberikan saya kesempatan
berharga untuk belajar," jawab saya mengakhiri pembicaraan.
Pembaca, sebagai penutup, saya ingin menjelaskan satu hal lagi.
Pikiran mempunyai energi. Saat kita memikirkan sesuatu maka kita
memberikan energi pada "buah pikir" itu. Saat Pak Budi saya minta
untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, saat saya meminta ia
mengamati mengapa ia sedih atau depresi maka saat itu "buah pikir
sedih/depresi" mulai kehilangan kekuatan. Energi yang tadinya
digunakan untuk menghasilkan kesedihan kini dialihkan pada kegiatan
mengamati, mengetahui, dan mengerti mengenai kesedihan. Dengan
demikian cengkeraman kesedihan menjadi longgar dan Pak Budi bisa
mengambil napas untuk melakukan hal lain yang lebih konstruktif.
[awg]
Sumber: Bahaya Kebencian dan Kebahagiaan oleh Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri.
kebahagiaan. Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari
perangkap kebencian dan kebahagiaan. "
~Y.M. Sri Pannyavaro
Suatu sore saat saya sedang asyik menikmati musik di dalam mobil,
dalam perjalanan pulang dari kantor, tiba-tiba HP saya berdering.
Siapa yang menelpon saya? Ternyata seorang bapak, sebut saja Pak
Budi, yang ingin membuat janji bertemu untuk saya terapi.
Saat itu saya sedang sibuk sekali menyelesaikan satu proyek besar
sehingga untuk sementara waktu saya terpaksa tidak bisa menerima
klien. Saya menjelaskan situasi saya kepada Pak Budi dan mohon maaf
karena tidak bisa menerimanya.
Namun Pak Budi tidak putus asa dan terus ingin membuat janji
bertemu. Beliau berkata bahwa ia telah membaca buku-buku saya,
khususnya Manage Your Mind for Success, Hypnosis: The Art of
Subconscious Communication, dan Becoming a Money Magnet. Selain itu
ia juga telah mengikuti seminar saya beberapa kali. Dan ia yakin
saya bisa membantu menyelesaikan masalahnya.
Saya tetap berusaha secara halus untuk mengatakan bahwa saya tidak
bisa, sampai akhirnya Pak Budi berkata, "Pak Adi, saya yakin Bapak
yang bisa membantu saya. Saya sudah ke terapis lain dan selama dua
tahun saya hanya diberi obat penenang. Saat ini saya depresi berat
dan ada kecenderungan untuk bunuh diri."
Melihat gentingnya situasi ini saya langsung mengatakan, "Pak Budi,
besok kita bertemu di rumah saya jam 16.00 tepat. Saya akan atur
ulang jadwal saya besok sehingga saya bisa ada waktu untuk membantu
Bapak."
Esoknya, Pak Budi datang tepat pukul 16.00. Saya membutuhkan waktu
sekitar 3 jam, mulai interview mendalam hingga aplikasi prosedur
terapeutik untuk membantu Pak Budi mengatasi masalahnya.
Pembaca, jangan khawatir. Dalam artikel ini saya tidak akan
menjelaskan prosedur terapeutik yang saya gunakan karena akan
terlalu teknis. Namun ada hal yang sangat menarik yang bisa kita
petik hikmahnya dari apa yang terjadi pada diri Pak Budi.
Pak Budi sebelumnya tinggal di Medan dan bekerja di suatu
perusahaan. Hidupnya saat itu sudah mapan. Ia sangat bahagia dan
menikmati hidup. Namun satu kejadian mengubah arah hidupnya. Ia
dipindah ke kota Surabaya. Selang beberapa saat kemudian ia
mengalami PHK.
Saat saya tanyakan mengapa dan bagaimana sampai bisa depresi ia
menjawab, "Setelah di-PHK saya merasa bingung. Nggak tahu mau kerja
apa. Saya down dan malu. Saya malu dengan diri saya sendiri. Saya
malu dengan keluarga saya. Saya malu dengan anak dan istri saya.
Saya lalu mencoba berwirawasta. Hasilnya malah tambah terpuruk.
Sudah dua tahun ini toko saya sepi. Saya susah tidur karena pikiran
saya selalu memikirkan hal-hal negatif."
Pembaca, apa yang terjadi pada diri Pak Budi sebenarnya sederhana.
Pak Budi tidak bisa menerima (baca: membenci) keadaannya saat ini.
Yang ia inginkan adalah masa-masa bahagia seperti waktu ia masih
bekerja di Medan.
Saat membantu Pak Budi mengatasi masalahnya saya langsung teringat
ucapan bijak yang dikatakan oleh Y.M. Pannyavaro di atas: "Tujuan
tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai
kebahagiaan. Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari
perangkap kebencian dan kebahagiaan. "
"Pak, tahukah Bapak kalau kemarahan dan kebencian itu sangat
berbahaya?" tanya saya.
"Oh, sudah tentu Pak," jawab Pak Budi mantap.
"Nah, tahukah Bapak bahwa kebahagiaan juga berbahaya bagi diri
kita?" kejar saya lagi.
"Maksud Pak Adi? Bukankah yang dicari semua orang adalah kebahagian?
Saya tidak mengerti bagaimana kebahagiaan bisa berbahaya bagi hidup
kita?" jawab Pak Budi bingung.
"Apa yang Bapak rasakan sekarang, depresi, adalah akibat dari
kebahagiaan yang Bapak inginkan. Pikiran Bapak tidak bisa menerima
saat kebahagiaan itu tidak lagi Bapak alami saat ini. Pikiran Bapak
menolak menerima kenyataan bahwa kebahagiaan itu telah berlalu.
Padahal ini hanya bersifat sementara," jawab saya.
Saat kita bertemu dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan yang kita
inginkan maka kita biasanya akan merasa tidak senang. Perasan tidak
senang selanjutnya berkembang menjadi jengkel. Jengkel lalu
berkembang menjadi marah dan akhirnya mengkristal menjadi kebencian.
Saat pikiran dipenuhi dengan kebencian maka pikiran akan
sangat "kreatif" untuk mengarahkan persepsi, ucapan, dan perbuatan
atau tindakan untuk bisa memuaskan kebencian. Hasilnya? Sungguh
sangat destruktif.
Hal yang sama juga berlaku saat kita bertemu dengan hal yang kita
inginkan. Saat itu kita merasa senang atau bahagia. Kalau bisa
perasaan senang atau bahagia ini jangan sampai berlalu. Kalau bisa
kita senang atau bahagia terus. Jika kesenangan atau kebahagiaan itu
sampai lepas atau hilang atau tidak lagi kita rasakan maka muncul
perasaan tidak senang. Perasan tidak senang selanjutnya akan berubah
menjadi jengkel, marah, dan akhirnya menjadi kebencian.
Bila ditelaah secara lebih mendalam maka sumber depresi Pak Budi
adalah keinginan untuk bisa terus bahagia. Pak Budi tidak bisa
menerima kalau ia di-PHK dan akhirnya harus menjalani hidup yang
berbeda dengan yang ia jalani sebelumnya.
Lalu apa solusinya? Di luar prosedur terapeutik yang saya lakukan
saya berusaha membantu Pak Budi untuk bisa melihat proses perjalanan
hidupnya dengan perspektif yang berbeda.
Segala sesuatu di dunia ini tidak abadi. Yang abadi hanya satu yaitu
ketidakabadian itu sendiri. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa
ditolak atau dilawan dengan kekuatan apa pun. Pemahaman ini sangat
penting agar kita dapat melihat dan menjalani hidup dengan benar dan
tidak melekat baik pada kebencian maupun kebahagiaan.
Saya lalu menjelaskan pada Pak Budi prinsip kerja pikiran, "Pikiran
hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Jika Bapak sedih
atau depresi maka yang terjadi adalah layar mental Anda memutar film
sedih. Anda tidak memberi kesempatan pada diri Anda sendiri untuk
bisa merasa bahagia."
"Lha, bagaimana mau senang Pak. Kondisi saya saat ini begini parah.
Dalam waktu beberapa bulan lagi saya harus pindah kontrakan. Istri
saya akan melahirkan anak kedua. Saya benar-benar stress," keluh Pak
Budi.
"Ya itu tadi Pak. Bapak tidak mengizinkan pikiran Bapak untuk
memainkan film yang bisa membuat Bapak senang dan bahagia," jawab
saya.
Saya lalu mengajarkan teknik pemusatan perhatian dan visualisasi
untuk bisa membantu Pak Budi mengarahkan pikirannya.
Hal lain yang saya sarankan untuk Pak Budi lakukan adalah agar ia
menyadari dan menghitung berkah dalam hidupnya saat ini. Saya ingin
Pak Budi mensyukuri apa yang ia miliki saat ini. Tujuannya adalah
untuk bisa menyibukkan pikirannya dengan hal-hal positif. Selain itu
untuk bisa membuatnya "feel good".
Saat diminta untuk menghitung berkah dalam hidupnya saya melihat
perubahan yang cukup signifikan pada raut wajah dan postur tubuh Pak
Budi. Saya kemudian meminta ia mengutarakan hal-hal yang patut ia
syukuri dalam hidupnya, "Saya bersyukur punya istri yang baik, yang
selalu mendukung saya dalam kondisi apa pun. Istri saya tidak pernah
mengeluh mengenai keadaan saya. Istri saya menerima saya apa adanya.
Demikian juga dengan anak saya. Anak saya begitu mencintai saya.
Saya punya keluarga yang sangat mencintai saya."
"Bapak tadi datang naik apa?" tanya saya
"Naik mobil, Pak," jawab Pak Budi.
"Bukan naik angkutan umum atau sepeda motor?" kejar saya.
"Bukan, Pak. Saya naik mobil," jawab Pak Budi.
"Pak, Anda sungguh beruntung lho. Ada sangat banyak orang yang tidak
mampu beli mobil. Ada banyak orang yang kena PHK kemudian
keluarganya berantakan. Ada banyak orang yang tidak punya rumah
tinggal. Ada banyak orang yang satu hari belum tentu bisa makan tiga
kali. Bapak sungguh beruntung dengan kondisi Bapak saat ini," jelas
saya.
"Ya Pak. Saya mengerti apa yang Pak Adi katakan. Yang sulit adalah
mengendalikan pikiran saya Pak. Sulit untuk bisa positif. Saya
selalu berpikir negatif," keluh Pak Budi lagi.
"Oh, untuk itu gampang. Nanti saya ajarkan satu teknik terapi yang
Bapak bisa lakukan sendiri di rumah. Bapak sulit berpikir positif
karena selama dua tahun telah terbiasa melatih pikiran, lebih
tepatnya membiarkan pikiran menjadi terbiasa, memikirkan hanya hal-
hal yang negatif. Pikiran Bapak sudah punya habit memikirkan yang
negatif. Nanti kita latih ulang agar habitnya memikirkan yang
positif," kata saya membesarkan hati Pak Budi.
Seringkali kita benci atau bahagia dengan menggunakan tolok ukur
yang kurang tepat. Kita benci dengan keadaan kita karena kita
membandingkan diri kita dengan orang di atas kita. Kita ingin bisa
seperti orang lain yang hidupnya lebih baik dari kita. Seringkali
kita lupa untuk membandingkan diri kita dengan orang lain yang
kondisinya di bawah kita.
Dua minggu setelah pertemuan dengan Pak Budi saya mendapat telpon.
Pak Budi melaporkan bahwa sekarang ia sudah jauh lebih baik
kondisinya. Sudah lebih tenang dan sudah bisa tidur. Pikirannya
sudah sangat positif. Pak Budi berkata, "Terima kasih Pak Adi atas
waktu dan bantuan yang telah diberikan kepada saya."
"Pak, bukan saya yang membantu atau menyembuhkan Bapak. Saya hanya
bertindak sebagai penunjuk jalan. Bapak yang menyembuhkan diri Bapak
sendiri. Bapak tidak sakit kok. Bapak hanya salah belajar. Pikiran
Bapak kurang tepat dalam memaknai kejadian atau pengalaman hidup.
Terima kasih juga karena Bapak telah memberikan saya kesempatan
berharga untuk belajar," jawab saya mengakhiri pembicaraan.
Pembaca, sebagai penutup, saya ingin menjelaskan satu hal lagi.
Pikiran mempunyai energi. Saat kita memikirkan sesuatu maka kita
memberikan energi pada "buah pikir" itu. Saat Pak Budi saya minta
untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, saat saya meminta ia
mengamati mengapa ia sedih atau depresi maka saat itu "buah pikir
sedih/depresi" mulai kehilangan kekuatan. Energi yang tadinya
digunakan untuk menghasilkan kesedihan kini dialihkan pada kegiatan
mengamati, mengetahui, dan mengerti mengenai kesedihan. Dengan
demikian cengkeraman kesedihan menjadi longgar dan Pak Budi bisa
mengambil napas untuk melakukan hal lain yang lebih konstruktif.
[awg]
Sumber: Bahaya Kebencian dan Kebahagiaan oleh Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri.
Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Comments :
0 komentar to “Bahaya Kebencian dan Kebahagiaan”
Posting Komentar