Bahaya Kebencian dan Kebahagiaan

"Tujuan tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai 
kebahagiaan. Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari 
perangkap kebencian dan kebahagiaan. " 
~Y.M. Sri Pannyavaro 

Suatu sore saat saya sedang asyik menikmati musik di dalam mobil, 
dalam perjalanan pulang dari kantor, tiba-tiba HP saya berdering. 
Siapa yang menelpon saya? Ternyata seorang bapak, sebut saja Pak 
Budi, yang ingin membuat janji bertemu untuk saya terapi. 

Saat itu saya sedang sibuk sekali menyelesaikan satu proyek besar 
sehingga untuk sementara waktu saya terpaksa tidak bisa menerima 
klien. Saya menjelaskan situasi saya kepada Pak Budi dan mohon maaf 
karena tidak bisa menerimanya. 

Namun Pak Budi tidak putus asa dan terus ingin membuat janji 
bertemu. Beliau berkata bahwa ia telah membaca buku-buku saya, 
khususnya Manage Your Mind for Success, Hypnosis: The Art of 
Subconscious Communication, dan Becoming a Money Magnet. Selain itu 
ia juga telah mengikuti seminar saya beberapa kali. Dan ia yakin 
saya bisa membantu menyelesaikan masalahnya. 

Saya tetap berusaha secara halus untuk mengatakan bahwa saya tidak 
bisa, sampai akhirnya Pak Budi berkata, "Pak Adi, saya yakin Bapak 
yang bisa membantu saya. Saya sudah ke terapis lain dan selama dua 
tahun saya hanya diberi obat penenang. Saat ini saya depresi berat 
dan ada kecenderungan untuk bunuh diri." 

Melihat gentingnya situasi ini saya langsung mengatakan, "Pak Budi, 
besok kita bertemu di rumah saya jam 16.00 tepat. Saya akan atur 
ulang jadwal saya besok sehingga saya bisa ada waktu untuk membantu 
Bapak." 

Esoknya, Pak Budi datang tepat pukul 16.00. Saya membutuhkan waktu 
sekitar 3 jam, mulai interview mendalam hingga aplikasi prosedur 
terapeutik untuk membantu Pak Budi mengatasi masalahnya. 

Pembaca, jangan khawatir. Dalam artikel ini saya tidak akan 
menjelaskan prosedur terapeutik yang saya gunakan karena akan 
terlalu teknis. Namun ada hal yang sangat menarik yang bisa kita 
petik hikmahnya dari apa yang terjadi pada diri Pak Budi. 

Pak Budi sebelumnya tinggal di Medan dan bekerja di suatu 
perusahaan. Hidupnya saat itu sudah mapan. Ia sangat bahagia dan 
menikmati hidup. Namun satu kejadian mengubah arah hidupnya. Ia 
dipindah ke kota Surabaya. Selang beberapa saat kemudian ia 
mengalami PHK. 

Saat saya tanyakan mengapa dan bagaimana sampai bisa depresi ia 
menjawab, "Setelah di-PHK saya merasa bingung. Nggak tahu mau kerja 
apa. Saya down dan malu. Saya malu dengan diri saya sendiri. Saya 
malu dengan keluarga saya. Saya malu dengan anak dan istri saya. 
Saya lalu mencoba berwirawasta. Hasilnya malah tambah terpuruk. 
Sudah dua tahun ini toko saya sepi. Saya susah tidur karena pikiran 
saya selalu memikirkan hal-hal negatif." 

Pembaca, apa yang terjadi pada diri Pak Budi sebenarnya sederhana. 
Pak Budi tidak bisa menerima (baca: membenci) keadaannya saat ini. 
Yang ia inginkan adalah masa-masa bahagia seperti waktu ia masih 
bekerja di Medan.

Saat membantu Pak Budi mengatasi masalahnya saya langsung teringat 
ucapan bijak yang dikatakan oleh Y.M. Pannyavaro di atas: "Tujuan 
tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai 
kebahagiaan. Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari 
perangkap kebencian dan kebahagiaan. " 

"Pak, tahukah Bapak kalau kemarahan dan kebencian itu sangat 
berbahaya?" tanya saya. 

"Oh, sudah tentu Pak," jawab Pak Budi mantap. 

"Nah, tahukah Bapak bahwa kebahagiaan juga berbahaya bagi diri 
kita?" kejar saya lagi. 

"Maksud Pak Adi? Bukankah yang dicari semua orang adalah kebahagian? 
Saya tidak mengerti bagaimana kebahagiaan bisa berbahaya bagi hidup 
kita?" jawab Pak Budi bingung. 

"Apa yang Bapak rasakan sekarang, depresi, adalah akibat dari 
kebahagiaan yang Bapak inginkan. Pikiran Bapak tidak bisa menerima 
saat kebahagiaan itu tidak lagi Bapak alami saat ini. Pikiran Bapak 
menolak menerima kenyataan bahwa kebahagiaan itu telah berlalu. 
Padahal ini hanya bersifat sementara," jawab saya. 

Saat kita bertemu dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan yang kita 
inginkan maka kita biasanya akan merasa tidak senang. Perasan tidak 
senang selanjutnya berkembang menjadi jengkel. Jengkel lalu 
berkembang menjadi marah dan akhirnya mengkristal menjadi kebencian. 
Saat pikiran dipenuhi dengan kebencian maka pikiran akan 
sangat "kreatif" untuk mengarahkan persepsi, ucapan, dan perbuatan 
atau tindakan untuk bisa memuaskan kebencian. Hasilnya? Sungguh 
sangat destruktif. 

Hal yang sama juga berlaku saat kita bertemu dengan hal yang kita 
inginkan. Saat itu kita merasa senang atau bahagia. Kalau bisa 
perasaan senang atau bahagia ini jangan sampai berlalu. Kalau bisa 
kita senang atau bahagia terus. Jika kesenangan atau kebahagiaan itu 
sampai lepas atau hilang atau tidak lagi kita rasakan maka muncul 
perasaan tidak senang. Perasan tidak senang selanjutnya akan berubah 
menjadi jengkel, marah, dan akhirnya menjadi kebencian. 

Bila ditelaah secara lebih mendalam maka sumber depresi Pak Budi 
adalah keinginan untuk bisa terus bahagia. Pak Budi tidak bisa 
menerima kalau ia di-PHK dan akhirnya harus menjalani hidup yang 
berbeda dengan yang ia jalani sebelumnya. 

Lalu apa solusinya? Di luar prosedur terapeutik yang saya lakukan 
saya berusaha membantu Pak Budi untuk bisa melihat proses perjalanan 
hidupnya dengan perspektif yang berbeda. 

Segala sesuatu di dunia ini tidak abadi. Yang abadi hanya satu yaitu 
ketidakabadian itu sendiri. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa 
ditolak atau dilawan dengan kekuatan apa pun. Pemahaman ini sangat 
penting agar kita dapat melihat dan menjalani hidup dengan benar dan 
tidak melekat baik pada kebencian maupun kebahagiaan. 

Saya lalu menjelaskan pada Pak Budi prinsip kerja pikiran, "Pikiran 
hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Jika Bapak sedih 
atau depresi maka yang terjadi adalah layar mental Anda memutar film 
sedih. Anda tidak memberi kesempatan pada diri Anda sendiri untuk 
bisa merasa bahagia." 

"Lha, bagaimana mau senang Pak. Kondisi saya saat ini begini parah. 
Dalam waktu beberapa bulan lagi saya harus pindah kontrakan. Istri 
saya akan melahirkan anak kedua. Saya benar-benar stress," keluh Pak 
Budi. 

"Ya itu tadi Pak. Bapak tidak mengizinkan pikiran Bapak untuk 
memainkan film yang bisa membuat Bapak senang dan bahagia," jawab 
saya. 

Saya lalu mengajarkan teknik pemusatan perhatian dan visualisasi 
untuk bisa membantu Pak Budi mengarahkan pikirannya. 

Hal lain yang saya sarankan untuk Pak Budi lakukan adalah agar ia 
menyadari dan menghitung berkah dalam hidupnya saat ini. Saya ingin 
Pak Budi mensyukuri apa yang ia miliki saat ini. Tujuannya adalah 
untuk bisa menyibukkan pikirannya dengan hal-hal positif. Selain itu 
untuk bisa membuatnya "feel good". 

Saat diminta untuk menghitung berkah dalam hidupnya saya melihat 
perubahan yang cukup signifikan pada raut wajah dan postur tubuh Pak 
Budi. Saya kemudian meminta ia mengutarakan hal-hal yang patut ia 
syukuri dalam hidupnya, "Saya bersyukur punya istri yang baik, yang 
selalu mendukung saya dalam kondisi apa pun. Istri saya tidak pernah 
mengeluh mengenai keadaan saya. Istri saya menerima saya apa adanya. 
Demikian juga dengan anak saya. Anak saya begitu mencintai saya. 
Saya punya keluarga yang sangat mencintai saya." 

"Bapak tadi datang naik apa?" tanya saya 

"Naik mobil, Pak," jawab Pak Budi. 

"Bukan naik angkutan umum atau sepeda motor?" kejar saya. 

"Bukan, Pak. Saya naik mobil," jawab Pak Budi. 

"Pak, Anda sungguh beruntung lho. Ada sangat banyak orang yang tidak 
mampu beli mobil. Ada banyak orang yang kena PHK kemudian 
keluarganya berantakan. Ada banyak orang yang tidak punya rumah 
tinggal. Ada banyak orang yang satu hari belum tentu bisa makan tiga 
kali. Bapak sungguh beruntung dengan kondisi Bapak saat ini," jelas 
saya. 

"Ya Pak. Saya mengerti apa yang Pak Adi katakan. Yang sulit adalah 
mengendalikan pikiran saya Pak. Sulit untuk bisa positif. Saya 
selalu berpikir negatif," keluh Pak Budi lagi. 

"Oh, untuk itu gampang. Nanti saya ajarkan satu teknik terapi yang 
Bapak bisa lakukan sendiri di rumah. Bapak sulit berpikir positif 
karena selama dua tahun telah terbiasa melatih pikiran, lebih 
tepatnya membiarkan pikiran menjadi terbiasa, memikirkan hanya hal-
hal yang negatif. Pikiran Bapak sudah punya habit memikirkan yang 
negatif. Nanti kita latih ulang agar habitnya memikirkan yang 
positif," kata saya membesarkan hati Pak Budi. 

Seringkali kita benci atau bahagia dengan menggunakan tolok ukur 
yang kurang tepat. Kita benci dengan keadaan kita karena kita 
membandingkan diri kita dengan orang di atas kita. Kita ingin bisa 
seperti orang lain yang hidupnya lebih baik dari kita. Seringkali 
kita lupa untuk membandingkan diri kita dengan orang lain yang 
kondisinya di bawah kita. 

Dua minggu setelah pertemuan dengan Pak Budi saya mendapat telpon. 
Pak Budi melaporkan bahwa sekarang ia sudah jauh lebih baik 
kondisinya. Sudah lebih tenang dan sudah bisa tidur. Pikirannya 
sudah sangat positif. Pak Budi berkata, "Terima kasih Pak Adi atas 
waktu dan bantuan yang telah diberikan kepada saya." 

"Pak, bukan saya yang membantu atau menyembuhkan Bapak. Saya hanya 
bertindak sebagai penunjuk jalan. Bapak yang menyembuhkan diri Bapak 
sendiri. Bapak tidak sakit kok. Bapak hanya salah belajar. Pikiran 
Bapak kurang tepat dalam memaknai kejadian atau pengalaman hidup. 
Terima kasih juga karena Bapak telah memberikan saya kesempatan 
berharga untuk belajar," jawab saya mengakhiri pembicaraan. 

Pembaca, sebagai penutup, saya ingin menjelaskan satu hal lagi. 
Pikiran mempunyai energi. Saat kita memikirkan sesuatu maka kita 
memberikan energi pada "buah pikir" itu. Saat Pak Budi saya minta 
untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, saat saya meminta ia 
mengamati mengapa ia sedih atau depresi maka saat itu "buah pikir 
sedih/depresi" mulai kehilangan kekuatan. Energi yang tadinya 
digunakan untuk menghasilkan kesedihan kini dialihkan pada kegiatan 
mengamati, mengetahui, dan mengerti mengenai kesedihan. Dengan 
demikian cengkeraman kesedihan menjadi longgar dan Pak Budi bisa 
mengambil napas untuk melakukan hal lain yang lebih konstruktif.
[awg] 

Sumber: Bahaya Kebencian dan Kebahagiaan oleh Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. 
__._,_.___





Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.


Share |


Artikel Terkait:

Comments :

0 komentar to “Bahaya Kebencian dan Kebahagiaan”


Posting Komentar