"Enggak mungkinlah, Mas," kata teman saya. Kemudian ia nyerocos
bagaimana ia sebagai wartawan bisa menikmati hidup, sementara yang
namanya tenggat atau deadline selalu saja mengejarnya. Di kantor, di
gym, di kolam renang, bahkan di tempat tidur. Teman saya juga
menggerutu tentang hal yang sama.
"Gue jadi seles (sales person maksudnya) dikejar target, mengurus
anak dikejar gurunya, enggak mengurus suami takut suami minggat. Kok
ya bisa menyuruh menikmati hidup," katanya lagi.
"Mbok sampean itu kawin dan bekerja sekaligus, punya anak sekaligus,
dan punya mertua kayak harimau sekaligus," ujarnya lagi.
Saya menyambar, "Mbok jangan pilih harimau." Ia menjawab lagi, "Wong
cinta sama anaknya, mau diapain lagi."
Balas saya lagi, "Jadi, sana kawin sama anak harimau?"
Jawabnya sambil kesal, "Sudah… kamu minggat sana!"
Saya memang sok berani menurunkan tulisan semacam ini. Judulnya pun
seperti orang kebanyakan uang yang tak perlu kerja. Sementara itu,
saya lajang yang tak hanya kerja, tetapi juga dikejar tenggat.
Meski tak punya tanggungan lain, maksudnya istri dan atau anak,
tetapi kegiatan membayar utang tiap bulan alias mencicil juga membuat
kepala selalu nyut-nyutan. Mencicil apartemen dan kartu kredit, dan i-
pod, dan laptop, dan ini, dan itu. Kalau dipikir-pikir ya salah saya
juga, semua mau dibeli, segala mau dipunyai, sementara kemampuan
finansial tak beda tipis dengan kertas HVS.
Sok menikmati hidup
Untuk bertanggung jawab terhadap barang-barang yang memuaskan ego
itu, saya harus pontang-panting mencari kerja yang gajinya lumayan,
supaya bisa melunasi kredit di sana-sini dan diusahakan bisa
menabung. Menabung lima hari, maksudnya. Setelah itu yaaa.... jebol
lagi. Kartu ATM sampai tipis dan banyak guratannya karena sering
dikeluar-masukkan.
Karena keinginan punya ini dan punya itulah, maka kerja keras harus
dilakukan sampai saya harus kehilangan ginjal karena gaya hidup yang
sak enak udelnya itu. Karena kerja, karena tenggat waktu, maka makan
sekadarnya saja, kemudian badan lelah, tidur kurang karena lebih
memilih ke Citos mendengarkan musik Mbak Bonita, putri Koes Hendratmo
yang suaranya luar biasa, ketimbang memilih pulang ke rumah dan
rebahan di ranjang. Luar biasa yang saya maksud, suaranya bagus
bangget. Karena kata teman saya, luar dari biasanya, bisa juga
berarti suara seperti saya. Seperti panci yang jatuh berguling di
lantai.
Teman saya pernah mengatakan begini, "Aku menikmati hidup dengan
bekerja."
Saya juga pernah mengatakan itu. Beberapa tahun lalu pekerjaan saya
bisa mengantar saya nyaris mengitari jagat raya ini. Siapa coba tak
bisa mengatakan pekerjaan semacam itu membuat hidup jadi nikmat?
Ternyata, kalau mau jujur, saya tak pernah bisa menikmati jagat raya
itu karena bepergian dalam kerja. Waktunya dibatasi, tak bisa ke
sana, tak bisa ke sini. Perjalanan bisnis mengelilingi bumi ini yang
membuat saya merasa saya menikmati hidup. Akan tetapi, kalau melihat
apa yang saya lakukan, saya harus jujur saya selalu "tewas" begitu
mendarat di Soekarno-Hatta.
Esok hari langsung absen di kantor dan selalu ada saja suara dari
ruang pimpinan, "Sudah deadline." Saya lalu pontang-panting lagi
harus memilih dari sekitar tiga ribu foto hasil jepretan dari sekitar
empat puluh peragaan busana di pusat-pusat mode. Itu semua belum
memikirkan tulisan yang harus dibuat.
Banting tulang
Saya selalu kurang dan tak pernah merasa cukup. Sudah punya tiga jam
tangan, perlu sepuluh jam tangan lagi. Punya satu apartemen, ingin
apartemen satu lagi. Cita-cita punya mobil mewah tercapai, masih
perlu mobil mewah satu lagi dari merek yang sama.
"Tetapi, kan serinya beda," kata teman saya. Dan selalu saja ada
alasan untuk memiliki semua itu.
Dulu saya ingin sukses dan kerja keras agar bisa kaya dan bisa
memonopoli. Untuk memenuhi cita-cita itu saya harus membanting
tulang. Selamat tulang saya dibanting belum ada yang remuk.
Dengan cita-cita setinggi langit itu saya kemudian menjadi jahat dan
mencari siasat bagaimana cara menjatuhkan pesaing. Dulu saya
mengatakan, ini nikmatnya hidup. Melihat pesaing kalah telak.
Sekarang saya pikir, kok bisa disebut menikmati hidup
dengan "membunuh", lha wong saya ini bukan orang dengan kelainan
jiwa.
Sampai pada suatu hari saya mengantar ayah saya keperistirahatannya
yang terakhir di dalam oven superpanas alias diperabukan. Saya
berdiri di hadapan oven besar dan supercanggih itu. Tiba-tiba oven
terbuka dan peti —tentu termasuk ayah saya di dalamnya—masuk ke
dalamnya, seperti pizza sedang dimasukkan ke dalam pembakaran.
Saya terenyak. Bukan karena ayah saya tak bisa kembali lagi. Saya
terenyak karena akhirnya manusia seperti saya dan Ayah cuma membawa
badan yang tak fana dan pertanggungjawaban hidup bersama peti mati
itu.
Kerja keras puluhan tahunnya untuk mendapatkan ini dan itu, dan
selalu tak pernah puas sudah mendapat ini dan itu, tak satu pun
dibawanya ke dalam oven panas itu.
Saya memang belum pernah mati, tetapi kok saya merasa kalau saja saya
ini berprestasi luar dari biasanya, terkenal luar biasa, memonopoli
luar biasa, paling guanteng luar biasa, pualing koaya luar biasa,
semuanya itu tak bakal bisa digunakan untuk merayu Tuhan agar saya
mendapat kapling besar dan prestisius di surga. "Iya kalau ke surga,"
celetuk teman saya.
Setelah melihat kejadian di depan oven panas itu saya baru belajar
beberapa minggu belakangan ini untuk bisa menikmati hidup dengan
merasa cukup. Saya belum bisa yakin apa itu akan berhasil.
"Aku kok pesimistis," kata teman saya.
Ia kemudian menjelaskan mengapa ia pesimistis. "Buat lo, cukup itu
artinya cukup punya berlian sekian karat, cukup punya tiga mobil,
cukup punya tanah tiga ribu meter persegi, ya kan?" Ia masih
menambahkan, "Cukup punya tiga yayang di tiga kota."
Begini (Mungkin) Cara Menikmati Hidup
1. Belajarlah mensyukuri hal-hal kecil. Sebelum saya tinggal di
apartemen, saya tinggal di rumah biasa dengan halaman cukup luas dan
beberapa pohonnya yang rindang dengan burung-burungnya yang berkicau
setiap pagi.
Bertahun lamanya saya tak pernah bisa mendengarkan suara burung-
burung itu karena kalau tidak bangun kesiangan sebab kelelahan, saya
terburu-buru karena terlambat.
Pada suatu akhir pekan saya tinggal di rumah. Kebetulan, kok ya bisa
bangun pagi. Yang saya maksud pagi itu pukul delapan, bukan pukul
enam. Sambil leyeh-leyeh di tempat tidur, saya mulai bisa mendengar
orkestra alami itu. Saya harus mengakui, konser di pohon-pohon
rindang itu membuat batin saya tenang dan menikmatinya. Acap kali hal-
hal kecil ini tak saya pedulikan karena di kepala saya yang namanya
menikmati hidup itu kalau saya bisa liburan di Mesir atau pesta pora
di kapal pesiar.
2. Bekerjalah efektif dan jangan bekerja keras, dengan demikian Anda
bisa punya waktu untuk menikmati hidup. Kalau saya seorang petugas
satpam, ya saya cukup bekerja sebagai satpam dan bertanggung jawab
penuh atas profesi saya itu. Saya tak perlu harus mencoba menjadi
sopir. Untuk itu sudah ada orang yang bertanggung jawab. Sekali-kali
Anda boleh membantu. Sekali-kali dan bukan tiap kali.
Sebagai pimpinan perusahaan, Anda tak berhak menilai satpam Anda
malas hanya karena ia tidak fleksibel. Saya pernah fleksibel, malah
dimanfaatkan. Gaji saya tetap, tanggung jawab saya dua. Dulu saya
bilang, "Enggak apa-apa kok, aku suka." Namun, waktu saya sakit,
perusahaan tak mau lembur di rumah sakit bersama saya. Saya cukup
diberi dinilai bagus karena mengerjakan dua pekerjaan dan lembur
setiap saat sampai saya tak punya waktu mendengar orkestra di
pepohonan itu. Tanya, gobloknya siapa?
3. Jangan ngoyo. Periksa kemampuan Anda. Kalau seperti saya IQ-nya
jongkok masih mau memonopoli bisnis, seperti para konglomerat itu,
saya akan tewas dalam beberapa bulan.
Sebaiknya dengan kepandaian yang tidak sama dengan para pebisnis
ulung itu saya mending main monopoli sambil ketawa-ketiwi dan makan
keripik. Kalau mereka menikmati hidup dengan memonopoli, saya
menikmati hidup bisa main monopoli. Bahkan, mungkin itu waktu yang
tepat untuk belajar memonopoli, sebelum saya memonopoli dengan
sebenar-benarnya. Dan, kalau tetap sudah belajar dan tak mengerti
juga, yaaa… makan keripik saja. Itu juga nikmatnya luar biasa. ***
Sumber: Nikmati Hidup! oleh Samuel Mulia Penulis Mode dan Gaya Hidup
Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Comments :
0 komentar to “Nikmati Hidup!”
Posting Komentar