Nikmati Hidup!


"Enggak mungkinlah, Mas," kata teman saya. Kemudian ia nyerocos 
bagaimana ia sebagai wartawan bisa menikmati hidup, sementara yang 
namanya tenggat atau deadline selalu saja mengejarnya. Di kantor, di 
gym, di kolam renang, bahkan di tempat tidur. Teman saya juga 
menggerutu tentang hal yang sama. 

"Gue jadi seles (sales person maksudnya) dikejar target, mengurus 
anak dikejar gurunya, enggak mengurus suami takut suami minggat. Kok 
ya bisa menyuruh menikmati hidup," katanya lagi. 

"Mbok sampean itu kawin dan bekerja sekaligus, punya anak sekaligus, 
dan punya mertua kayak harimau sekaligus," ujarnya lagi. 

Saya menyambar, "Mbok jangan pilih harimau." Ia menjawab lagi, "Wong 
cinta sama anaknya, mau diapain lagi." 

Balas saya lagi, "Jadi, sana kawin sama anak harimau?" 

Jawabnya sambil kesal, "Sudah… kamu minggat sana!" 

Saya memang sok berani menurunkan tulisan semacam ini. Judulnya pun 
seperti orang kebanyakan uang yang tak perlu kerja. Sementara itu, 
saya lajang yang tak hanya kerja, tetapi juga dikejar tenggat. 

Meski tak punya tanggungan lain, maksudnya istri dan atau anak, 
tetapi kegiatan membayar utang tiap bulan alias mencicil juga membuat 
kepala selalu nyut-nyutan. Mencicil apartemen dan kartu kredit, dan i-
pod, dan laptop, dan ini, dan itu. Kalau dipikir-pikir ya salah saya 
juga, semua mau dibeli, segala mau dipunyai, sementara kemampuan 
finansial tak beda tipis dengan kertas HVS. 

Sok menikmati hidup 

Untuk bertanggung jawab terhadap barang-barang yang memuaskan ego 
itu, saya harus pontang-panting mencari kerja yang gajinya lumayan, 
supaya bisa melunasi kredit di sana-sini dan diusahakan bisa 
menabung. Menabung lima hari, maksudnya. Setelah itu yaaa.... jebol 
lagi. Kartu ATM sampai tipis dan banyak guratannya karena sering 
dikeluar-masukkan. 

Karena keinginan punya ini dan punya itulah, maka kerja keras harus 
dilakukan sampai saya harus kehilangan ginjal karena gaya hidup yang 
sak enak udelnya itu. Karena kerja, karena tenggat waktu, maka makan 
sekadarnya saja, kemudian badan lelah, tidur kurang karena lebih 
memilih ke Citos mendengarkan musik Mbak Bonita, putri Koes Hendratmo 
yang suaranya luar biasa, ketimbang memilih pulang ke rumah dan 
rebahan di ranjang. Luar biasa yang saya maksud, suaranya bagus 
bangget. Karena kata teman saya, luar dari biasanya, bisa juga 
berarti suara seperti saya. Seperti panci yang jatuh berguling di 
lantai. 

Teman saya pernah mengatakan begini, "Aku menikmati hidup dengan 
bekerja." 

Saya juga pernah mengatakan itu. Beberapa tahun lalu pekerjaan saya 
bisa mengantar saya nyaris mengitari jagat raya ini. Siapa coba tak 
bisa mengatakan pekerjaan semacam itu membuat hidup jadi nikmat? 

Ternyata, kalau mau jujur, saya tak pernah bisa menikmati jagat raya 
itu karena bepergian dalam kerja. Waktunya dibatasi, tak bisa ke 
sana, tak bisa ke sini. Perjalanan bisnis mengelilingi bumi ini yang 
membuat saya merasa saya menikmati hidup. Akan tetapi, kalau melihat 
apa yang saya lakukan, saya harus jujur saya selalu "tewas" begitu 
mendarat di Soekarno-Hatta. 

Esok hari langsung absen di kantor dan selalu ada saja suara dari 
ruang pimpinan, "Sudah deadline." Saya lalu pontang-panting lagi 
harus memilih dari sekitar tiga ribu foto hasil jepretan dari sekitar 
empat puluh peragaan busana di pusat-pusat mode. Itu semua belum 
memikirkan tulisan yang harus dibuat. 

Banting tulang 

Saya selalu kurang dan tak pernah merasa cukup. Sudah punya tiga jam 
tangan, perlu sepuluh jam tangan lagi. Punya satu apartemen, ingin 
apartemen satu lagi. Cita-cita punya mobil mewah tercapai, masih 
perlu mobil mewah satu lagi dari merek yang sama. 

"Tetapi, kan serinya beda," kata teman saya. Dan selalu saja ada 
alasan untuk memiliki semua itu. 

Dulu saya ingin sukses dan kerja keras agar bisa kaya dan bisa 
memonopoli. Untuk memenuhi cita-cita itu saya harus membanting 
tulang. Selamat tulang saya dibanting belum ada yang remuk. 

Dengan cita-cita setinggi langit itu saya kemudian menjadi jahat dan 
mencari siasat bagaimana cara menjatuhkan pesaing. Dulu saya 
mengatakan, ini nikmatnya hidup. Melihat pesaing kalah telak. 
Sekarang saya pikir, kok bisa disebut menikmati hidup 
dengan "membunuh", lha wong saya ini bukan orang dengan kelainan 
jiwa. 

Sampai pada suatu hari saya mengantar ayah saya keperistirahatannya 
yang terakhir di dalam oven superpanas alias diperabukan. Saya 
berdiri di hadapan oven besar dan supercanggih itu. Tiba-tiba oven 
terbuka dan peti —tentu termasuk ayah saya di dalamnya—masuk ke 
dalamnya, seperti pizza sedang dimasukkan ke dalam pembakaran. 

Saya terenyak. Bukan karena ayah saya tak bisa kembali lagi. Saya 
terenyak karena akhirnya manusia seperti saya dan Ayah cuma membawa 
badan yang tak fana dan pertanggungjawaban hidup bersama peti mati 
itu. 

Kerja keras puluhan tahunnya untuk mendapatkan ini dan itu, dan 
selalu tak pernah puas sudah mendapat ini dan itu, tak satu pun 
dibawanya ke dalam oven panas itu. 

Saya memang belum pernah mati, tetapi kok saya merasa kalau saja saya 
ini berprestasi luar dari biasanya, terkenal luar biasa, memonopoli 
luar biasa, paling guanteng luar biasa, pualing koaya luar biasa, 
semuanya itu tak bakal bisa digunakan untuk merayu Tuhan agar saya 
mendapat kapling besar dan prestisius di surga. "Iya kalau ke surga," 
celetuk teman saya. 

Setelah melihat kejadian di depan oven panas itu saya baru belajar 
beberapa minggu belakangan ini untuk bisa menikmati hidup dengan 
merasa cukup. Saya belum bisa yakin apa itu akan berhasil. 

"Aku kok pesimistis," kata teman saya. 

Ia kemudian menjelaskan mengapa ia pesimistis. "Buat lo, cukup itu 
artinya cukup punya berlian sekian karat, cukup punya tiga mobil, 
cukup punya tanah tiga ribu meter persegi, ya kan?" Ia masih 
menambahkan, "Cukup punya tiga yayang di tiga kota." 

Begini (Mungkin) Cara Menikmati Hidup 

1. Belajarlah mensyukuri hal-hal kecil. Sebelum saya tinggal di 
apartemen, saya tinggal di rumah biasa dengan halaman cukup luas dan 
beberapa pohonnya yang rindang dengan burung-burungnya yang berkicau 
setiap pagi. 

Bertahun lamanya saya tak pernah bisa mendengarkan suara burung-
burung
 itu karena kalau tidak bangun kesiangan sebab kelelahan, saya 
terburu-buru karena terlambat. 

Pada suatu akhir pekan saya tinggal di rumah. Kebetulan, kok ya bisa 
bangun pagi. Yang saya maksud pagi itu pukul delapan, bukan pukul 
enam. Sambil leyeh-leyeh di tempat tidur, saya mulai bisa mendengar 
orkestra alami itu. Saya harus mengakui, konser di pohon-pohon 
rindang itu membuat batin saya tenang dan menikmatinya. Acap kali hal-
hal kecil ini tak saya pedulikan karena di kepala saya yang namanya 
menikmati hidup itu kalau saya bisa liburan di Mesir atau pesta pora 
di kapal pesiar. 

2. Bekerjalah efektif dan jangan bekerja keras, dengan demikian Anda 
bisa punya waktu untuk menikmati hidup. Kalau saya seorang petugas 
satpam, ya saya cukup bekerja sebagai satpam dan bertanggung jawab 
penuh atas profesi saya itu. Saya tak perlu harus mencoba menjadi 
sopir. Untuk itu sudah ada orang yang bertanggung jawab. Sekali-kali 
Anda boleh membantu. Sekali-kali dan bukan tiap kali. 

Sebagai pimpinan perusahaan, Anda tak berhak menilai satpam Anda 
malas hanya karena ia tidak fleksibel. Saya pernah fleksibel, malah 
dimanfaatkan. Gaji saya tetap, tanggung jawab saya dua. Dulu saya 
bilang, "Enggak apa-apa kok, aku suka." Namun, waktu saya sakit, 
perusahaan tak mau lembur di rumah sakit bersama saya. Saya cukup 
diberi dinilai bagus karena mengerjakan dua pekerjaan dan lembur 
setiap saat sampai saya tak punya waktu mendengar orkestra di 
pepohonan itu. Tanya, gobloknya siapa? 

3. Jangan ngoyo. Periksa kemampuan Anda. Kalau seperti saya IQ-nya 
jongkok masih mau memonopoli bisnis, seperti para konglomerat itu, 
saya akan tewas dalam beberapa bulan. 

Sebaiknya dengan kepandaian yang tidak sama dengan para pebisnis 
ulung itu saya mending main monopoli sambil ketawa-ketiwi dan makan 
keripik. Kalau mereka menikmati hidup dengan memonopoli, saya 
menikmati hidup bisa main monopoli. Bahkan, mungkin itu waktu yang 
tepat untuk belajar memonopoli, sebelum saya memonopoli dengan 
sebenar-benarnya. Dan, kalau tetap sudah belajar dan tak mengerti 
juga, yaaa… makan keripik saja. Itu juga nikmatnya luar biasa. ***

Sumber: Nikmati Hidup! oleh Samuel Mulia Penulis Mode dan Gaya Hidup 





Jika menurut sobat artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.


Share |


Artikel Terkait:

Comments :

0 komentar to “Nikmati Hidup!”


Posting Komentar